F.(R).I.E.N.D.(S) #4

195 21 0
                                    

Sepeninggal Lean dan Ola, Adi memang menetap cukup lama di Mansion Club. Kedua sahabatnya itu undur diri tepat pukul sebelas malam, dan bersamaan dengan itu Ferrel yang ia kontak untuk bergabung, datang terlambat.
Mereka hanya sempat berbincang sebentar, dan yang melanjutkan pekatnya malam hanya tinggal Adi dan Ferrel.

Disaat itulah, Adi menunjuk jari telunjuknya ke arah Mevy—yang tengah terlibat adu mulut dengan pria bernama Stanley. Dan mengenalkannya pada Ferrel, sahabatnya.
Siapa yang tidak mengenal sosok Mevy? Begitu pun Ferrel. Namun, malam itu Adi membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan. Ia mengenalkan Mevy sebagai teman masa kecilnya, dan mengakui bahwa dulu ia sempat diam-diam menyukainya.

“Dan lo masih menyimpan perasaan itu sampai sekarang, kan?” pancing Ferrel yang duduk di booth di sebelah Adi.

“Gue bingung harus mengartikannya bagaimana, Rel. Lo ingat waktu talent acara talk show sore itu, kita mengundang dia kan?”

“Ya, gue ingat. Terus?”

“Yah, itu pertama kalinya gue bertemu dia setelah belasan tahun berpisah. Dan, sejak saat itu ada sesuatu yang aneh, di dalam sini,” jari telunjuk Adi menunjuk tepat ke dadanya.

Tak ada tanggapan berarti dari Ferrel. Pria yang masih memiliki darah Batak itu, hanya menyeringai lebar. Setengah jam kemudian, di saat pertunjukkan baru saja akan dimulai, Ferrel justru pamit untuk beristirahat di rumah yang sengaja di sewa oleh tim untuk tempat menginap selama syuting variety show berlangsung.

Sejak saat itu, Adi dan Ferrel belum lagi berkomunikasi. Belakangan ia mendapat informasi dari rekan satu timnya yang lain, kalau Ferrel izin pulang ke Jakarta lebih dulu tadi siang. Padahal, syuting belum selesai.

Dan ternyata semua alasan itu hanyalah akal-akalan yang Ferrel ciptakan. Bagaimana tidak? Lihat! Pria itu masih berada di Bandung. Di salah satu hotel berbintang empat dan keluar dari kamar yang di tempati oleh Mevy Hagie.

“Bagaimana? Kalian akan tetap di sini?” tanya Mevy yang tampak kebingungan melihat dua orang pria yang jauh lebih tinggi darinya, berdiri dan saling menatap sengit satu sama lain.

Tatapan sengit? Ya, jelas. Pria ini memang sahabat Adi, rekan satu tim. Namun, satu yang mesti di garis bawahi; Ferrel tidak pernah mau kalah dari Adi. Dari banyak peristiwa, memang dapat disimpulkan, jika Ferrel tak ingin berada satu level di bawah Adi. Ia selalu ingin terlihat lebih menonjol dalam hal apapun. Karir, penampilan, pergaulan, bahkan urusan perempuan. Aroma persaingan kerap kali tercium di antara mereka, meski mereka menjalin tali persahabatan.

Well, awal semua itu adalah tentang kecemburuan masa lalu. Di mana sebenarnya, baik Adi, Rinka, Ilse, Lean, Nou, Ola dan Ferrel adalah teman satu angkatan di SMA yang sama.

Hanya saja, popularitas lebih memihak pada Adi dan sahabat-sahabat perempuannya yang kala itu memang aktif sebagai anggota OSIS yang eksis. Sementara, Ferrel hanya siswa biasa yang tidak di kenal siapa-siapa—publik sekolah secara umum, kecualk segelintir orang-orang tertentu.

Dari situ, muncul suatu sifat yang melekat pada diri Ferrel—copycat. Apapun yang Adi kerjakan, lakukan, dan kenakan, menjadi kewajiban bagi Ferrel untuk mengikutinya.

Tidak ketinggalan untuk urusan asmara, terkadang gadis incaran Adi justru akan berlabuh di hati Ferrel. Sesuatu yang bisa dikatakan tidak kebetulan, kan? Dan, setelah gadis-gadis sebelumnya, apakah untuk kasus Mevy ini akan terulang kembali? Tapi, sayangnya gue nggak akan pernah tinggal diam, Rel!

“Kita akan pulang sekarang. Well, thanks for the interview, Mev.” Ferrel menjabat tangan Mevy sopan.

Sejurus kemudian, sebelum sempat Adi menjabat tangan Mevy yang menggantung di depannya, Ferrel keburu menarik lengannya. Dan menjauhkan Adi dari hadapan Mevy. Ya, persaingan kembali dimulai!

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Où les histoires vivent. Découvrez maintenant