F.R.I.(E).N.D.(S) #4

173 18 0
                                    

Bandung.
Masa kini.

Lean menatap dengan seksama benda yang baru saja Hardyan berikan padanya. Ia ingat betul, jika surat itu ditulis dengan tangannya sendiri dan perasaan terluka yang menyertainya. Ia menulisnya sesaat sebelum kepulangannya ke Bandung.

Dengan maksud menghindari Hardyan, dan berkeyakinan jika jarak dapat menghapus semua kenangannya. Lean yang kala itu telah menyelesaikan kuliahnya memilih untuk hengkang dari pusat ibu kota negeri jiran tersebut. Ia memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya di Bandung.

Namun, tak lama Rami datang ke Indonesia untuk memulai berkarir dan menawarkan  kerjasama spesial dengan Lean. Mendirikan sebuah café. Berawal dari hal tersebut, akhirnya Lean dapat menemukan kembali dirinya yang sempat kehilangan gairah hidupnya.

“Kenapa kamu kembalikan ini? Surat ini milik kamu.”

Hardyan menggelengkan kepalanya.

Alright, kalau kamu datang hanya untuk ini, saya anggap semua selesai. Kamu tahu di mana pintu keluarnya,” tegas Lean.

Baru saja Lean akan beranjak dari kursi yang didudukinya, namun, Hardyan berhasil menggagalkannya dengan cara menarik pergelangan tangan Lean.

“Saya tahu, bagaimana perasaan kamu sesungguhnya. Kamu nggak akan pernah bisa menolak, Lean.”

Benar. Belum juga semenit berselang setelah ucapan itu meluncur dari mulut Hardyan, Lean kembali duduk di tempatnya. Ia benar-benar tak bisa mengabaikan pria yang satu ini. Dulu dan kini.

“Terus, kamu mau saya melakukan apa? Menjelaskan pada Amiza tentang isi surat itu?”

Lagi. Hardyan hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Membuat Lean tak mengerti dengan apa yang harus ia perbuat.

Untuk sepersekian detik lamanya, mereka hanya saling menatap satu sama lain. Hardyan tak kunjung memberi penjelasan, seperti menahan sesuatu. Ekspresinya juga sulit ditebak. Sedang berpikir kah?

“Apa?” tanya Lean memecah keheningan.

“Sehari setelah nasib keutuhan keluargaku diputuskan, saya membaca surat itu. It means, kami sudah berpisah. Nggak ada yang perlu kamu jelaskan pada siapa pun maksud dari isi surat itu.”

Lean tercengang. Mulutnya terbuka sedikit—ekspresi tidak percaya. Bagaimana bisa? Mereka berpisah hanya karena sepucuk surat?

“Uhm, maaf—”

“Maaf?” Hardyan tersenyum geli. Ujung matanya berkerut bersamaan dengan itu.

“Ya. Bukan hal sepele yang sudah surat itu lakukan, Har. Kamu dan Amiza—”

“Bukan, itu karena sebagian besar kesalahan saya.”

“Maksud kamu?”

Dahi Lean berkerut. Ia benar-benar dibuat tidak paham dengan penuturan Hardyan. Bahkan disaat kabar mengejutkan itu—bagi Lean, setidaknya untuk saat ini—Hardyan sampaikan, tak ada sama sekali raut sedih yang terpampang di wajahnya. Semua biasa saja, baik-baik saja.

“Ternyata, keputusan yang saya buat lima tahun yang lalu itu salah. Saya menyesal telah mengambil keputusan itu. Menikahi Amiza, adalah kesalahan pertama yang saya buat. Dan seterusnya datang silih berganti. Saya, menyesal menyia-nyiakan kamu. Perempuan yang seharusnya saya pilih sejak awal.”

Napas Lean tercekat di tenggorokan. Setiap kata seperti tertahan di ujung lidahnya. Ia terpekur. Takjub mendengar penjelasan panjang yang dijabarkan Hardyan.

“Kasih saya satu kesempatan untuk memperbaiki segalanya, Le,” lanjut Hardyan.

Astaga, itu sebuah permintaan! Laki-laki itu datang bukan sekedar untuk bertemu dengan Lean, dan mengembalikan suratnya. Hardyan datang untuk meminta satu kesempatan. Untuk memperbaiki hubungan mereka yang kandas lima tahun lalu di menara gedung kembar.

Please?

Lean galau. Pria itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Lalu membuat sebuah permintaan. Bagaimana ia harus menanggapi?

“Lean, kamu masih di sini, kan?”

“A-ah, ya. Uhm, saya... kasih saya waktu.”

***

Awak ni stupid! Tak usah lah awak percaye diorang kate. Tak cukup sakit hati awak, keh?

Rami berjalan ke sana ke mari saat meluapkan kekesalannya.

Malam itu ternyata Rami menyadari kehadiran Hardyan di café. Hanya karena ia tengah terlibat pembicaraan dengan Diola, pria itu lantas mengabaikan kehadiran Hardyan. Meski demi kian sesekali tatap matanya memperhatikannya. Terlebih, kala Hardyan meminta Lean untuk duduk bersamanya dan membicarakan sesuatu yang—sepertinya sangat serius.

Jujur saja, setelah malam itu Rami terus-menerus dihantui perasaan penasaran sekaligus gamang. Apa yang pria itu inginkan dari Lean? Orang terdekatnya.

“Aku tahu, Ram. Ini sulit buatku,” ujar Lean terlihat putus asa.

Saat ini, dini hari, mereka berdua baru saja menutup 18 Hours Café. Sebagian besar karyawan sudah pulang, dan sebagian lagi masih berada di pantry.

Rami dan Lean memilih untuk berada di depan saat terlibat pembicaraan. Berdiri di hadapan mesin kasir.

Forget about him! Aku peduli sama kamu. Jelas, aku nggak mau kamu disia-siakan lagi.”

Baru satu kali Lean membangun percakapan kembali bersama Hardyan setelah sekian lama. Dan baru sekali ini lagi, Lean menitikan air matanya kembali untuk orang yang sama.

“Aku nggak bisa. Kamu nggak tahu gimana rasanya jadi aku!”

Sebab tu Lean. I kenal awak dah lama, I faham betul perasaan awak.

Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi. Suasana yang sepi kala itu sangat mendukung berbagai emosi terbangun saat percakapan berlangsung.

Suara tangisan Lean membuat beberapa pegawai yang tersisa keluar dari pantry dan terheran-heran. Terlebih lagi sebelumnya Lean terlibat adu mulut dengan mitra bisnisnya sendiri.

“Percayalah, Lean. Aku sayang kamu. Awak dah macam sister buat I,” dengan sekali tarikan, Rami menjatuhkan Lean ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat tubuh Lean yang lebih kecil darinya. Mengusap bahunya, meredakan tangisannya.

“Aku masih mencintainya, Ram,” bisik Lean dalam dekapan Rami.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Where stories live. Discover now