F.R.(I).E.N.D.(S) #1

205 18 0
                                    

IIZAH LOISE BACHMID; ILOISE

Dahinya berkerut saat tumpukan kertas berisi resep bertulis tangan dokter tersebar di atas meja kerjanya. Sore itu Ilse mencoba untuk tetap berada pada jalur fokusnya. Meski kepalanya terasa pusing, lantaran semalam menghabiskan waktu bersama teman SMA-nya dan tepat setelah itu ia harus kembali ke rumah sakit karena mendapat shift malam. Alhasil, Ilse kesulitan untuk berkonsentrasi saat dihadapkan dengan tulisan tangan dokter—yang sulit sekali ia terjemahkan.

Ia menghela napasnya, dan bersandar pada kepala kursi. Telapak tangannya ia gunakan untuk mengelap dahinya yang berkeringat.

“Selesai!”

Senyum puas mengembang, dan ia serasa menemukan pelepasan penatnya.

Suara petikan gitar yang kemudian diikuti suara pria mengalun dan membuat Ilse terkesiap. Lagu Rosyln dari Bon Iver tersebut tidak lain adalah ringtone untuk panggilan masuk.

Dengan terburu-buru, Ilse menjawab panggilan tersebut. Bibirnya terangkat, terbuka dan tertutup, membuat pola kalimat. Tak jarang sebuah cebikan kesal juga nampak di sela-sela pembicaraannya dengan lawan bicaranya di seberang sana.

“Oke, aku ke depan sekarang.”

Ilse bangkit dari duduknya, setelah sebelumnya merapikan pekerjaannya. Ia keluar dari instalasi farmasi menuju ke meja piket di bagian depan rumah sakit. Dengan langkah kelelahan, ia menghampiri sang sahabat yang kala itu mendapat giliran untuk piket.

“Akhirnya, kamu datang juga Ils,” kata perempuan yang mengenakan seragam yang sama dengan Ilse.

“Teman piketmu ke mana sih? Sampai harus aku temani segala?”

“Dia mendadak ada perlu dan izin pulang duluan. Alhasil, aku ditinggal sendirian.”

“Terus kamu jadikan aku tumbal gitu?”

Temannya nyengir dan terlihatlah gigi berkawat miliknya. “Yah, paling nggak sebelum kamu balik dua jam lagi, Ils. Mau ya, temani aku?”

Tubuh Ilse yang sedikit berisi diguncang maju dan mundur oleh temannya tersebut. Dengan pasrah Ilse mengangguk sembari memutar kedua bola matanya. “Oke, lagian pekerjaanku sudah kelar semua.”

“Ah, thank you my Ils!” perempuan itu memeluk Ilse secara mendadak, hingga hampir merobohkan tubuhnya.

“Renika!” buru-buru Ilse melepaskan pelukan sahabatnya tersebut. Hal itu jelas berlebihan! Belum lagi jika harus disaksikan oleh banyak pasang mata yang melintasi meja piket.

“Ups, sorry. Abis kamu itu baik banget sih, Ils. Selalu ada kalau teman sedang kesulitan.” Bulu mata Renika mengepak seiring dengan kedipan matanya. Ia mencoba merayu Ilse dengan rayuan mautnya.

“Tapi, itu nggak berlaku sebaliknya!”

“Ih, kok gitu sih. Ucapanmu itu lho, Ils. Buat hati aku terluka,” rajuk Renika.

“Yah, whatever deh. By the way, sedari tadi aku perhatikan, berasa ada yang beda dari panggilan kamu biasanya. Kenapa kamu panggil aku ‘Ils’?”

“Ah, itu. Nggak apa-apa dong. Dokter Wilzar bilang itu unik,” Renika kini duduk di kursinya sedangkan Ilse masih berdiri bergeming. Ia bahkan tak dapat menggerakkan tubuhnya yang mendadak membeku seperti bongkahan es.

Perlahan es itu mulai mencair oleh rasa hangat yang kemudian dirasa semakin panas. Pipinya memerah, seperti terbakar. Dan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Benarkah? Dokter Wilzar bilang seperti itu?

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang