Chapter 51 - Destruction [파괴]

Start from the beginning
                                    

Percayalah, apa yang Jiwoo ucapkan itu sungguh menampar diriku.

Jiwoo benar, tidak ada gunanya aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pendapat orang-orang tentangku. Lebih baik aku fokus untuk membesarkan putriku dengan penuh kasih sayang, tidak akan kubiarkan kesedihan menimpa putriku, aku bersumpah tidak akan pernah.

Aku mengangguki nasihat Jiwoo.

"Terima kasih banyak Jiwoo-ya, Eonnie janji akan membesarkan keponakanmu dengan sungguh-sungguh."

"Aku tahu kau pasti melakukannya."

Jiwoo menepuk pelan punggungku, "yasudah jika sudah selesai langsung istirahat ya."

"Iya, kau juga." Aku melanjutkan kegiatanku membuangi semua makanan-makanan yang sudah basi karena tidak dimakan sedikitpun, angin malam menerpa kulit pucatku.

Apa kabar ya orang tuaku disana?

Apakah mereka baik-baik saja?

Aku ingin sekali memberitahu mereka bahwa mereka telah menjadi Kakek dan Nenek sekarang, aku yakin mereka pasti akan sangat bahagia mendengarnya.

Namun yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengirimkan mereka doa, agar mereka selalu diberi kesehatan dan perlindungan.

Dan melupakanku.

*****

Hampir menginjak satu bulan setelah aku melahirkan, kegiatanku hanyalah beristirahat sambil mengurus putriku.

Seperti saat ini, aku tengah menyusuinya.

Matanya indah, sesekali terlelap dalam dekapanku, manis sekali.

"Setelah ini kau makan ya sayang." Jimin mengalihkan fokusku yang dari tadi hanya memerhatikan wajah cantik bayi kecil ini.

Aku mengangguk sambil tersenyum kecil, "iya Oppa." Maafkan aku Jimin, selama ini aku hanya menyusahkanmu.

Aku tak tahun kenapa akhir-akhir ini aku merasa lemah, seolah tenagaku diserap secara perlahan. Wajahku semakin pucat, mataku semakin cekung seperti orang-orang penderita penyakit parah.

Nafasku sering sesak, bahkan untuk bangun dari baring saja terasa sangat berat.

Tak hanya fisikku, tapi juga mentalku.

Emosiku sering naik turun, aku selalu merasa sedih setiap waktu. Terkadang aku menangis sambil tertawa saat sedang menggendong putriku.

Hanya saja aku merasa sangat tak berguna, penuh dosa, dan menjijikan.

"Apakah dia sudah tertidur?" Jimin kembali membuyarkan lamunanku, "kalau sudah, sini gantian menggendongnya, kau makan dulu." Lanjutnya.

Aku mengangguk, karena hanya itu yang bisa kulakukan, "yasudah, tunggu sebentar ya aku ambilkan makan." Ia beranjak pergi ke dapur.

Dan lagi-lagi, mataku kembali meneteskan air mata, tanpa alasan yang jelas aku selalu menangis.

Tak lama ia kembali dengan sepiring makanan dan segelas air putih, Jimin mengambil alih putri kami, lalu aku makan.

"Cup... cup... cup... anak Appa, kenapa cantik sekali sih?"

Ditengah-tengah mengunyah aku sempat menyengir kecil mendengar timangannya pada putri kami, Jimin itu sungguh manis, tipe Ayah yang dewasa, dan jelas aku merasa nyaman dan aman karenanya.

"Setelah ini kau tidur saja, biar aku yang mengasuh, kau tampak  sangat lelah." Dan juga tipe suami yang sangat perhatian, yang ia pentingkan hanyalah kami, ia bahkan tak sadar bahwa dirinya juga pasti tak kalah lelahnya.

Semua pekerjaan rumah dikerjakan olehnya, mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, semua hal dikerjakannya seorang diri.

Dan aku?

Apa yang bisa aku lakukan?

Hanya berbaring tak berdaya, tak berguna dan selalu menyusahkan. Aku sungguh membenci diriku yang tak bisa berbuat apa-apa ini, selalu menyusahkan dan merugikan orang lain.

Dan ya, selain tak berguna, keahlianku juga hanya menangis dan menangis.

Seperti kali ini, lagi-lagi dan lagi, aku menangis seperti orang bodoh yang minta dikasihani. Menangis di depan makanan adalah hal yang buruk, tapi itulah aku saat ini.

Jimin yang tengah asik menciumi putri kami yang tengah ia gendong pun terkejut dengan tangisanku yang tiba-tiba.

"Sayang! Ada apa?"

"Kenapa kau menangis?"

Aku tak mampu menjawab, yang ada semakin menangis tak berdaya.

"Hyerin-a, ada apa?" Nada Jimin terdengar seolah ia juga akan menangis, suaranya bergetar.

"Maaf..." aku semakin tersedu, "maafkan aku Oppa..." dan semakin pecah.

"Untuk apa sayang, eoh? Kenapa kau harus meminta maaf? Memangnya apa salahmu sayang?" Jimin mendekatiku setelah mengucapkan kalimat-kalimat yang ia ucapkan dengan sangat lembut itu.

Sebelah tangannya langsung memelukku, "sudah-sudah, tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun selagi aku ada disisimu dan putri kita. Bukan kah aku sudah berjanji akan selalu menjaga dan berada disisimu?" Aku w bisa menangis dalam dekapannya.

Aku tahu Jimin juga rapuh, dan mungkin lebih dariku. Tapi sungguh, Jimin adalah orang terkuat yang pernah aku temui, ia tak mau menunjukkan kerapuhan dan kesedihannya, ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, yang selalu ia prioritaskan hanyalah aku, selalu aku. Aku yang tak berguna ini.

"Aku menikah denganmu bukan untuk bermain-main Hyerin-a, aku menikah denganmu karena aku yakin itu adalah hal yang paling tepat. Dan jelas aku akan menepati janji suci pernikahan kita, apapun yang terjadi biar aku yang menanggungnya, karena tugasku adalah melindungi dan membahagiakanmu dan putri kita. Kau tidak perlu memikirkan hal lain, cukup cintai aku seperti aku mencintaimu saja itu sudah lebih dari cukup."

-To be continue-
.
.
.

Terima kasih karena sudah berkenan membaca cerita ini, maaf kalau banyak typo dan jangan lupa vote dan komen ya kalau kalian suka.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

.

Sunday, February 8, 2022.
21.41 PM

Meet You [Park Jimin]Where stories live. Discover now