Chapter 45 - We Know [우린 알아]

218 35 9
                                    

Perkataan Ibu Jimin kemarin masih terus berputar dikepalaku, tak memberi sedetik pun untuk lupa. Aku tahu, cepat atau lambat Ibu Jimin pasti akan mengatakannya langsung pada Jiwoo.

Jelas itu tak akan mudah bagi Jiwoo, aku bisa melihat pancaran bahagia dari mata gadis itu setiap kali ia bersama dengan Jungkook.

Kalian bisa bayangkan sendiri, bagaimana rasanya jika kalian ditentang bersama dengan orang yang kalian suka, bahkan kalian cinta.

Karena aku tahu jelas seperti apa rasa sakit itu.

Terkadang kehadiran sosok seseorang dalam hidup kita bisa menjadi alasan utama untuk kita bertahan hidup, sama sepertiku.

Jimin, mungkin jika bukan karenanya aku juga tidak akan sanggup melanjutkan hidupku yang tiba-tiba berubah seribu derajat ini.

Aku merasa bahagia bersamanya, walau hidup bagai dipenjara oleh desa terkutuk ini.

Dan mungkin begitu juga dengan Jiwoo, usianya memang masih muda. Namun, sebuah perasaan tidak mengenal umur. Entah usiamu sepuluh tahun, lima belas tahun, atau bahkan delapan puluh tahun, perasaan tetaplah perasaan, karena ini kita, manusia yang diciptakan dengan hati untuk merasa.

Terkadang aku tidak begitu setuju dengan perkataan orang tua yang berkata, masih kecil sudah kenal cinta.

Aku memang masih bisa berpikir positif, mereka berkata seperti itu karena khawatir rasa cinta yang tumbuh pada anak kecil terhadap lawan jenis akan mengganggu pendidikan mereka, ya bahkan aku sendiri akui itu benar.

Namun, perasaan cinta yang mereka rasakan itu nyata.

Sama seperti yang orang dewasa rasakan.

Dan disinilah orang tua berperan penting, orang tualah yang harus mendidik agar mereka bisa mengontrol perasaan itu hingga saat yang tepat nanti.

Tapi, bagaimana dengan Jiwoo?

Apakah menurut kalian diusianya yang sekarang masih belum tepat untuk merasakan cinta?

Mungkin jika bukan di desa ini, maksudku di dunia luar, diumur itu masih fokus pada pendidikan, berjung mati-matian untuk masuk universitas. Namun jelas berbeda disini, disini tidak ada sekolah, tidak ada universitas.

Hanya ada cinta dan kasih sayang dari orang-orang yang ditakdirkan lahir dalam belenggu desa yang terkutuk.

Aku sedih setiap kali memikirkannya.

Aku merasa sedang berada di posisi antara benar dan salah, abu-abu tanpa kepastian putih ataupun hitam.

"Oppa... Eonnie... " suara itu menggubris lamunku dengan tatapan yang sayup. Entah sudah berapa lama aku melamun sejak kami bertiga bersantai di halaman depan rumah ini.

"Kenapa?" Jimin yang menjawab, aku hanya menoleh perlahan ke arahnya. Pikiranku masih terpusat pada Jiwoo dan Jungkook.

"Ada yang mau kukatakan," lagi, Jiwoo bersuara.

"Bicara saja, kenapa harus bilang."

Aku mengangguki perkataan Jimin, "iya, bicara saja. Kami pasti mendengarkan." Lanjutku.

Jiwoo tampak diam sejenak, menarik nafasnya pelan.

Kami menunggu.

Entah apa yang ingin ia katakan.

"Sebenarnya... " gadis ini tak langsung melanjutkan katanya.

Dan lagi, kami hanya bisa diam menunggu kelanjutan kata dari mulutnya.

"Aku suka Jungkook Oppa."

Terdiam, kami bertiga saling menatap tanpa kejelasan.

Apa aku bilang bukan?

Meet You [Park Jimin]Where stories live. Discover now