BAB 5 : Afeksi Transparan

Start from the beginning
                                    

Ghaitsa berhati-hati mengangkat gawai hitam untuk ditaruh ke atas nakas dan perlahan berangsur naik ke atas ranjang. Tubuhnya beringsut masuk ke dalam dekapan si pemuda sementara sepasang tangannya melingkari pinggang Yaziel. Yaziel mengernyit sembari menaikkan tirai mata, rupanya terganggu karena kedatangan tamu.

“Sa?” panggilnya dengan suara serak.

Ghaitsa menempelkan pipinya pada dada bidang Yaziel dan menyahut nyaris mencicit. “Nggak bisa tidur, El. Aisa capek.”

Lewat mata elang yang sedang memicing menangkap setiap pergerakan si bungsu. Yaziel akhirnya balas memeluk Ghaitsa, lebih erat dan ditambah usapan lembut pada surai panjang adiknya. Beberapa detik kemudian dia menepuk-nepuk pundak Ghaitsa. “Bobo ya, Aisanya Ziel. Nggak akan mimpi buruk, kok.”

Seperti yang sudah-sudah, Ghaitsa berhasil menemukan celah dalam kantuk. Dia berhasil mengenyahkan berisik dalam kepala dan terbuai tepukan hangat Yaziel.

Konon, pelukan Yaziel sama persis fungsinya dengan dreamcatcher. Sayangnya, tidak hadir bagi semua orang, hanya terkhusus untuk Ghaitsa seorang saja.

🌙🌙🌙

Semalam kota sempat diguyur hujan, cukup lama sebagai melodi semesta yang paling ampuh membuai para manusia agar terlelap lebih nyaman. Syukurnya, menjelang pagi hujan hanya meninggalkan rasa dingin tak kentara bersama embun-embun segar di atas dedaunan. Aroma petrikor pun masih tercium pekat dan menjadi pembuka pagi paling damai. Ghaitsa membuka mata tatkala tubuhnya digoyang pelan. Ada Archie di sana tengah melempar senyum tak enak hati padanya.

“Ayo sholat subuh dulu, Sa.”

Ghaitsa mengangguk dan bangkit. Dia merentangkan tangan yang langsung disambut oleh sang kakak dan membiarkan dirinya digendong pada punggungㅡterlalu lemas berjalan sendiri mencapai kamar mandi sehingga Archie tidak keberatan menjadi transportasi pribadi. Berusaha mengumpulkan nyawa, Ghaitsa mengikat rambut panjangnya dan keluar setelah mengambil wudhu. Di samping ranjang, Haidden tampaknya sudah muak membangunkan Yaziel yang memang lebih mencintai tidur daripada air di pagi hari.

“Nih, anakㅡsumpah, deh! Heh! Bangun kagak lo?! Sholat subuh, Ieeeeel!”

Yaziel cuma melayangkan lenguhan dan berbalik memunggungi guna semakin bergelung dalam-dalam di selimut. Archie datang dan menyodorkan mukena pada Ghaitsa kemudian. “Den, turun cepet. Bantuin Jeviar bentangin sajadah sana.”

“Terus Ziel gimana, Bang?”

Sang sulung memandang jengah adiknya yang satu itu dan bersedekap tangan. “Biarin aja, dia maunya dibangunin malaikat izrail.”

“BISMILLAH LANGSUNG WUDHU, BANG! DEMI ALLAH, CANGKEMNYA INDAH BANGETㅡANJIR! ASTAGHFIRULLAH!”

Mendengar penuturan kesal sang kakak membuat Yaziel langsung bangkit dari tidur dan melompat turun begitu saja meski mata belum terbuka sepenuhnya, sehingga ibu jari kaki mengecup ujung meja nakas. Yaziel mengaduh berkali-kali sembari memasuki kamar mandi dengan ringisan, ditambah mata berkaca-kaca panas menahan sakit.

“Cobaan banget, Ya Allah!”

Mereka geleng-geleng kepala dan daripada menunggu Yaziel siap, ada baiknya bersiap-siap terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian barulah pemuda tersebut menyusul bersama sarung terlilit di pinggang. Sholat subuh rampung dilaksanakan bermenit-menit berikutnya dan syukurlah, tidak ada drama tambahan yang mengawali keributan pagi ini. Ghaitsa lantas bergerak membantu Archie memasak sarapan pagi dengan rambut dicepol sembarangan.

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now