Angin bertiup lembut menhembuskan daun-daun mapple, sampai hinggap di atas meja kecil yang terbuat dari anyaman rotan. Dikelilingi tiga orang pelajar yang nampaknya tengah sibuk. Menatap layar laptopnya masing-masing. Balkon rumah sakit kecil itu mereka jadikan untuk tempat belajar. Buku-buku serta kertas berserakan di lantai membuat kesan semakin sempit, balkon itu berpagarkan besi-besi minimalis dicat hitam.

Agatha menggeser pintu melirik ke arah mereka, namun nampaknya ketiga orang itu tidak sadar akan kedatangan Agatha. Agatha berdeham memecah keheningan. Rambut hitamnya berayun mengikuti hembusan angin, wajah Agatha berkerut masam. "Kalian ini, cuaca semakin dingin kenapa tidak belajar di dalam saja."

Mereka yang terkejut segera mengarah sumber suara. "Ibu, bikin kaget saja." Mikasa berkeluh, mengusap-ngusap lengannya, dingin.

Sasha berkelakar, "Kita tidak mau menganggu paman Grisha, bibi."

"Heeh ... Pria tua bahkan tidak akan terbangun jika kalian berkaraoke di sini. Mikasa kenapa kamu tidak mengajak mereka masuk."

"Aku sudah membujuk mereka, tapi mereka tidak mau."

"Tidak apa-apa ibu, kita tetap di sini saja." Alih-alih menimpali atau menunggu respon Agatha, Sasha memilih untuk melirik Jean dengan tatapan aneh, sejak kapan Jean memanggil Agatha dengan sebutan ibu.

"Sudah-sudah cepat bereskan barang kalian. Berhubung saya sudah ada di sini kalian pulang saja. Biar saya yang menjaga Grisha. Hangatkan tubuh kalian kemudian makan malam, aku sudah menyiapkannya di rumah. Sasha, Jean jangan menolak, ya?"

Rumah yang dimaksud adalah rumah Levi. Mereka menghela napas, menuruti perkataan Agatha tanpa merasa keberatan. Jean tentu dengan senang hati karena sudah terbiasa dengan keluarga Ackerman. Sebenarnya Sasha juga, namun memasuki kediaman Levi ini kali pertamanya. Dia agak gugup.

Terbukti saat Sasha memindai setiap sudut kediaman Levi saat mereka tiba di sana, dia melangkah masuk dengan langkah mengendap-ngendap. Dia bahkan tidak terkejut dengan hunian mewah itu, dia hanya takut melihat wajah Levi, entah kenapa Sasha enggan berhadapan dengan pria itu, sendari dulu. Mungkin Levi memiliki tatapan yang membuatnya terintimidasi. Menurutnya tatapan Levi amat tajam.

"Kamu kenapa melihat-lihat begitu? tidak ada yang mencurigakan di sini." Jean yang tidak mengerti penasaran. Sedangkan dia memperlakukan rumah itu seperti rumahnya sendiri.

"Lantas kamu kenapa santai begitu?"

"Apa yang harus aku tegang kan, Mikasa kan tetanggaku."

Sasha berkerut. Sial. Dia tidak punya kata-kata.

"Ibuku menyiapkan sukiyaki, kalian menyukainya?"

Mikasa yang sudah berada di meja makan, membuka satu-satu plastik yang membungkus piring. Berisi sayuran seperti kubis, macam-macam jamur yang telah bersih serta diiris rapi. Semuanya siap untuk di rebus menggunakan kuah kaldu. Terdapat satu kompor serbaguna di tengah meja sebagai pusatnya.

"Tentu saja. Ibumu memang tahu apa yang kita inginkan."

Sasha teperangah melihat hidangan yang begitu banyak. Apa lagi daging sapi yang bertumpuk itu membuat atensi Jean kian menghadir kan hati.

"Sebentar aku ambil hot pot."

Tanpa disuruh Sasha serta Jean sudah duduk lebih dulu, seraya melepaskan coat dan tas-tas mereka ke kursi sebelah mereka yang kosong. "Kemana kakakmu?" Sasha bertanya seraya mengambil daun selada, lalu dia makan.

"Entah lah."

"Aku harap dia tidak segera kembali."

"Kenapa? Kamu membencinya?" Selidik Jean seraya sibuk melihat layar ponsel.

"Bukan begitu. Aku hanya tidak nyaman, dia seperti ingin membunuhku."

Mikasa berkelakar. "Sejak kecil sampai sekarang, perasaanku tetap sama kepada Levi."

"Bohong. Sebenarnya dia menyukai kakakku, kamu tahu? Dia pernah bilang jika Levi adalah cinta pertamanya. Namun semenjak Levi dengan Hanji, nyali Sasha tidak seperti dulu lagi." Tawa Mikasa kian nyaring. Jean tersenyum jenaka, lalu membuat tatapan ke arah Mikasa.

"Sungguh?"

"Iya."

"Tidak."

Jawab mereka serentak. "Dia asal bicara. Setelah kehilangan Eren dia menjadi sinting. Kamu kan sudah tahu. Jangan ..."

Tawa Mikasa kian hebat, lantaran berhasil mempermainkan Sasha hingga wajah gadis ekor kuda itu memerah, Sasha berusaha menyelamatkan dirinya dengan kalimat patah-patah namun sepertinya tidak mempan. Mikasa yang kemenangan merasa amat geli, satu tangannya mengelus perut, sedangkan satu tangannya yang lain menutup mulut.

Jean yang mengamati tersenyum. Sesuatu yang menenangkan hatinya menjalar halus lalu membuncah. "... Setiap kali melihat tawa Mikasa, entah kenapa aku selalu merasa bersyukur."

Tawa Mikasa terhenti, halisnya naik heran. Kedua gadis itu sontak melirik Jean. Dia bersedekap ke atas meja, serta menatap netra hazel milik Mikasa dalam-dalam.

"... Sebab sudah lama kamu tidak terlihat sebahagia ini. Aku turut senang. Aku harap, aku tidak lagi merusaknya. Aku ingin terus melihat Mikasa tertawa seperti demikian."

"Kita ini mabuk ya?" Sasha menggaruk belakang kepalanya, kenapa tiba-tiba semua pembahasan mereka menjadi aneh. Sasha kemudian menoleh Jean lalu berkilat. "Omong kosong," kilahnya dengan bola mata yang berputar malas. "... Kamu yang posesif tidak akan bisa mengambil hati Mikasa."

"Mulut mu itu ya ..."

"Ya karena ini tabiatku, dan posesif adalah tabiatmu. Kamu pikir itu akan berubah."

Jean menghela napas. "Sudah kubilang aku ingin berubah, aku tidak mau yang dulu terulang kembali. Aku ini serius. Kamu percaya padaku kan, Mikasa?"

Mikasa yang menyibukan dirinya dengan merebus sayur terdiam sejenak. "Cepat makan bodoh, atau mau ku pesankan taksi untuk pulang?"

Mereka terdiam.

"Jangan membahas hal yang tidak penting. Aku tidak punya banyak energi untuk membahasnya. "





Mohon maklum ya 🙏🏻 author lagi kena banyak musibah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mohon maklum ya 🙏🏻 author lagi kena banyak musibah. Sibuk banget pokoknya.
Support author terus ya ... Taburi bintang sama komentar. Luv❤

Forbidden ColorWhere stories live. Discover now