27. Malam Hari (c)

Start from the beginning
                                    

“Panas?” ulang Mai tidak percaya. “Dini hari loh ini, kamu bilang panas? Kepalamu itu yang panas, Jangan salahin kotanya.”

Giginya sempat gemetar karena memang suhu udara terlalu ekstrim untuknya yang hanya mengenakan baju tidur tipis.

“Gini aja kedinginan, dasar lemah.”

“Awas kamu nanti, aku siram pakai balok es.”

Axel berhenti lari, dan melepaskan tangan Mai. Dia menatap gadis itu. “Bentar.”

Mai bingung karena mendadak berhenti di tengah jalan begini, lebih parahnya di antara pepohonan besar dan kegelapan total. “Apa? Mau ngatain aku lagi?”

Tanpa permisi, Axel membuka kancing bajunya. Kalau menyangkut keselamatan Mai, dia tidak akan merasa malu.

“Ngapain kamu?” Mai mundur selangkah. Dadanya berdebar karena tiba-tiba Axel membuka baju di tengah pepohonan begini.

“Ini.” Axel menyerahkan kemejanya pada Mai. Dia tampak biasa saja dan percaya diri sekalipun tidak ada sehelai benang yang menutupi tubuh bagian atasnya.

“Maksudnya?”

“Kamu bilang kedinginan, itu pakai aja. Emang bukan jaket, tapi kalo dobel pasti lebih hangat 'kan?”

Mai malu sendiri. Ia tidak menyangka ucapan Axel terdengar pedas sepanjang waktu, tetapi ternyata laki-laki itu sangat perhatian.

Axel melihat Mai yang mengenakan bajunya dengan ekspresi wajah sumringah. “Ngapain kamu malah senyum-senyum?”

“Gak apa-apa. Kamu yakin gak kedinginan telanjang dada gini?”

“Gak sama sekali. Aku terbiasa telanjang.”

“Heh?”

Axel mendadak malu. Dia buru-buru menjelaskan, “maksudnya telanjang atas aja.”

Mai malu sampai isi kepala terasa menguap. Bibirnya terkatup rapat. Situasi ini jauh lebih menegangkan ketimbang dikejar serigala tadi.

Pandangannya tak bisa lepas dari kulit dada Axel yang memiliki warna bagaikan susu, jauh lebih bening ketimbang kulit leher dan pundak yang seperti tersiram karamel.

Bentuk tubuh Axel memang bagus, lebih menarik daripada para kakak kelas populer yang sengaja pamer otot dada dan perut saat lomba renang.

Pinggang kencang, jauh dari kata lemak. Tidak ada lemak sama sekali, hanya ada otot.

“Kami mikir apa?” Axel memberikan tatapan selidik setelah tahu Mai memperhatikannya dari kepala sampai perut.

Mai berdusta dengan berkata “mikir ... eh, baju kamu bikin aku jadi hangat. Makasih.”

Belum sempat membalas ucapan itu, tiba-tiba Axel mendengar ada suara ranting yang terinjak. Ini hanya bisa terdengar oleh telinganya. Dia sontak meraih pergelangan tangan Mai lagi, lalu mengajaknya pergi.

“Ayo lari lagi,” bisiknya.

“Ngapain kamu bisik -bisik?” Mai sempat menoleh ke belakang, tapi tak melihat apapun. Dadanya berdebar lebih kencang. “Kita dikejar lagi?”

Baju tidur Axel tampak kedodoran saat dikenakan oleh gadis itu. Alhasil saat berlari, kainnya berkibar-kibar.

Tap. Tap. Tap.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah kaki itu terdengar banyak sekali, tapi sayangnya memang hanya Axel yang sanggup mendengarnya.

”Kita dikejar,“ ucap Axel lirih, ”tapi gak apa - apa.“

Setelah beberapa ratus meter kemudian, mereka berhasil mencapai pagar tembok pembatas lahan. Tingginya hampir tiga meter, normalnya mustahil orang bisa menaikinya tanpa ada bantuan.

Tap. Tap. Tap.

Barulah kali ini suara langkah kaki itu terdengar samar-samar oleh Mai. Itu membuktikan kalau mereka memang sudah sangat dekat.

“Suara apa itu?” bisik Mai menoleh ke belakang mereka. Gelap sekali, tidak ada yang bisa dia lihat, kecuali pepohonan terdekat.

Tak diduga, saat memperhatikan sekitar, dia melihat ada seseorang yang tergeletak di bawah salah satu pohon dengan posisi tengkurap. Baju yang dipakai oleh orang itu berwarna kecoklatan dengan berbagai badge lengkap seperti milik seorang polisi.

Sebenarnya pria itu adalah orang yang sama dengan penyerang Akar siang hari itu. Tubuhnya sengaja digeletakkan di tepi pagar agar gampang ditemukan. Semua itu sengaja dilakukan sebagai bentuk ancaman kepada instansi kepolisian.

Mai merasa kalau hanya berhalusinasi, jadi dia menghiraukannya, lalu berpaling lagi ke Axel yang ternyata nekad tembok tebal itu. Butuh beberapa hingga akhirnya retak dan hancur.

“Hei, kamu ngapain?” Dia terbelalak melihat ulah Axel yang keterlaluan. Mulutnya melongo karena sebagian tembok bata itu sudah lebur jadi debu.

“Gak ada CCTV 'kan? Jadi aman.” Axel selalu ingat kata ayahnya. Merusak boleh dilakukan kalau darurat asal tidak ada kamera pengawas.

Mai memijat keningnya. Semuanya terlihat begitu kacau sekarang. “Kayaknya emang benar kata orang, kita gak boleh keluyuran tengah malam, aku jadi halusinasi, bahkan ada bapak polisi tidur disana.”

Axel menoleh ke arah ke belakang, lalu ke arah mayat yang dilihat oleh Mai. Dia kelihatan tidak kaget sama sekali seakan sudah tahu dari tadi ada bau mayat. “Kamu gak halusinasi, kok, itu mayat bapak-bapak.”

“Ma— yat?” Napas Mai tersentak.

“Iya.”

Beberapa detik kemudian, kepala Mai terasa berputar dan matanya berkunang-kunang, sebelum akhirnya jatuh pingsan. Hanya butuh waktu sesingkat itu untuk membuatkannya tak sadarkan diri.

Tap. Tap. Tap.

Tap. Tap. Tap.

Di balik gelapnya pepohonan, banyak sekali langkah kaki yang terdengar, sebagian seperti suara ranting terinjak.

Axel menggendong Mai, lalu dibawanya lari dari tempat itu. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor polisi terdekat, dia mengomel sendiri.

***

NOTE.

Happy 100k reads untuk cerita ini 🎉

Makasih untuk dukungannya ya, dan yang sudah like & komen, thanks 👌

Mulai sekarang, update seperti biasa, 3 hari sekali.

Btw, kalau ada yang ngirim pesan/dll yang belum aku balas, jangan negthink ya 😂, aku buka WP biasanya langsung buat update doang, belum sempat lihat-lihat 👌

KELABU (Werewolf Story) [END]Where stories live. Discover now