27. Malam Hari (c)

5.2K 1.2K 84
                                    

“Ini pakai sandalku.” Axel melepaskan sandal yang dia pakai. Dia menoleh ke berbagai arah, memastikan sebanyak apa serigala yang mendekati sekolah.

Mai memakai sandal Axel, lalu bertanya, “Kamu gimana?”

“Kamu aja yang pakai, nanti kakimu lecet kalau gak pakai sandal. Aku gak apa-apa.”

“Oke, jadi sekarang gimana? Kita pergi aja ke kantor polisi, ya?”

“Sekarang aku bisa nyium bau serigala dimana-mana, tapi tadi gak ada, gak ada baunya manusia lain juga.” Axel menyambar tangan Mai, lalu dia ajak berputar ke bagian belakang bangunan sekolah ini. “Ayo pergi dulu.”

“Kita mau kemana? Gerbangnya di depan!”

“Ada banyak serigala di depan gerbang depan,, bau mereka mendadak muncul. Kayaknya ada yang nyebar bau-bau aneh yang tadi sempat disebar di sekitar gedung olah raga. Hidungku jadi gak peka.”

“Mereka ngincar kita? Apa gunanya, coba?”

“Gak tahu, aku juga bukan pewaris Alfa, harusnya gak diincar juga.”

Saat sampai di pintu besi karatan pagar belakang, Axel tidak memperlambat kecepatan larinya. Malahan, dia semakin cepat, dan kemudian menendang pintu itu. Hanya sekali tendangan, engsel sudah terpisah dari tembok, sehingga pintu itu ambruk.

Telapak kaki telanjang Axel terlihat baik-baik saja, tidak ada goresan atau kemerahan. Dia seperti baru menendang papan plastik ketimbang pintu besi. Tetapi kulitnya jadi kotor oleh lumpur dan karat dari pintu tersebut.

“Terus ngapain kita malah ke belakang sekolah? Ini lahan swasta, mana banyak pohonnya udah kek hutan, gak ada lampu, Axel. Nanti ada setan lagi.”

“Gak apa-apa, setannya kan takut kamu.”

“Hmm.” Mai tidak tahu Axel ini sedang menyindir atau serius. Tetapi, dia tidak sanggup marah karena takut.

Axel mengajaknya lari lewat belakang sekolah. Hanya di area inilah tidak tercium aroma milik para serigala asing.

Perjalanan mereka lebih sulit sebab lahan milik swasta ini tidak terawat. Tanahnya lembab, berlumut, kabut tinggi, jika tidak berhati-hati bisa terpeleset karena sulit melihat.

Untuk sampai di jalanan lagi, mereka harus melintas sejauh sekitar lima ratus meter. Tempat ini rimbun dengan pepohonan liar, semak belukar berduri, dan parahnya saat malam begini, nyaris tidak terlihat apapun. Rasanya seperti berada di tengah kuburan.

“Gelap banget,” gumam Mai yang beberapa kali akan terjungkal karena akar pohon yang menyeruak keluar dari tanah.

Beruntung, Axel terus memegangi tangannya. Dia memandangi Mai dengan pupil matanya yang sudah berbentuk garis vertikal ala predator. “Hati-hati dong, kamu ini nyusahin banget.”

“Iya. Iya.” Mai menatap seluruh batang pohon yang dia lewati dan sesekali mendongak ke langit, terlihat banyak ranting-ranting besar yang menyerupai tangan penyihir.

“Kadang aku gak nyangka kalau kawasan ini ada di planet Bekasi, terlalu hijau gak, sih?” katanya lagi.

Axel, dengan santainya, bilang, “ini masih planet Bekasi, kok, udaranya aja panas banget. Kayaknya kota kamu ini emang dikutuk, Mai. Panas banget.”

KELABU (Werewolf Story) [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora