Ayu menyisir rambutnya ke atas, ia sudah merasa disini hanya ia yang salah. Ia salah merasa kecewa. "Oke... Kalau kamu maunya gitu. Silakan pergi ke Jakarta. Iya aku nggak masalah. Udah kan? Itu yang kamu mau?"

"Oke..." Suara Aga terdengar pasrah.

"Kenapa sih kamu selalu gampangin suatu hal, Ga, kalau itu bersangkutan sama aku? Knowing that I'm easy to handle? Jadi, kamu selalu jadiin aku opsi terakhir ya? Mudah banget buat kamu."

Dan Ayu langsung memutuskan sambungan telfonnya dengan Aga. Melempar ponselnya asal entah dimana. Ia langsung menarik selimutnya hingga menutupi kepala dan menarik nafas panjang, lalu ia buang perlahan.

---

Rasa marah membuat Ayu seharian ini menjadi rajin untuk membereskan kamarnya. Ia benar-benar menyibukkan diri agar tidak teringat bahwa ia sempat meledak semalam. Rasanya Ayu ingin saja tiba-tiba mengalami anterograde amnesia, agar ia lupa apa yang sedang terjadi padanya dengan Aga.

Ayu memasukkan kertas-kertas sampah bekas materi kuliahnya ke dalam sebuah kardus, niatnya ingin ia jual ke tukang rongsokkan. Lalu ia membongkar satu kotak berisi hadiah-hadiah dan surat pemberian Aga. Ayu sebenarnya rindu. Tapi, ia cukup gengsi untuk menghubungi Aga kembali.

Kata maaf itu sudah ada di ujung lidah, hanya keberanian saja yang Ayu tidak punya. Dua hari lagi Aga akan meninggalkannya ke Jakarta, mereka tidak akan bertemu sampai —entah kapan, atau memang benar-benar tidak akan bertemu sama sekali.

Ia menghembuskan nafasnya kasar dan menutup kotak itu dan ia masukkan kembali ke dalam lemarinya. Tubuh Ayu beringsut lemas, dilihatnya jam yang terpaku di atas pintu sudah menunjukkan pukul enam petang. Tandanya sudah lima jam lebih Ayu menghabiskan waktu untuk membereskan kamar. Ia menyandarkan kepalanya di kasur, dengan posisi duduk di lantai. Berulang kali membuka ruang obrolannya dengan Aga yang tidak ada pembaruan sama sekali sejak telfon terakhir mereka semalam.

Ayu memutuskan untuk membuka instagram, menengok unggahan terbaru bang Gibran saat wisuda Aga kemarin. Ayu bisa melihat nama Aga tertera menyukai unggahan dari bang Gibran.

"Masih bisa santai ternyata." Desis Ayu kesal.

Ia melempar ponselnya asal dan menenggelamkan wajahnya pada kasur. Tubuh dan jiwa Ayu terasa lelah dalam waktu yang bersamaan.

Matanya terpejam perlahan dan Ayu tertidur begitu saja.

Ayu hampir terlonjak begitu merasakan getaran pada kasurnya. Ia mengangkat kepalanya dan matanya masih menyesuaikan untuk terbuka, ia mencari ponselnya yang tergeletak tidak jauh dari tempat ia meletakkan kepalanya tadi.

Aga menelponnya lagi. Namun, yang membuat Ayu sedikit terkejut adalah, ternyata sudah pukul sepuluh malam. Padahal tadi, ia melihat baru jam enam. Pantas saja lehernya terasa pegal, ia tertidur dengan posisi duduk. Ayu memijat lehernya dan menjawab panggilan Aga.

"Ayu." Suara berat Aga terdengar.

"Iya?"

"Keluar kamar sebentar, aku ada di depan kost kamu."

"Ck. Ngapain—"

Aga memutus sambungan telfonnya sepihak, Ayu bahkan belum setuju. Dengan sedikit berat, Ayu mengambil jaketnya yang berwarna abu-abu, menutup resletingnya karena dingin. Ia keluar dengan mata yang masih terasa berat dan ingin melanjutkan tidurnya.

Dan benar saja, Aga sudah berdiri di depan kostnya. Dengan jaket kulit yang melapisi kaus putih dan celana kargo hitam yang Aga biasa pakai.

Tidak ada sambutan dengan senyuman yang seperti biasa mereka lakukan. Hanya wajah dingin Ayu yang masih menyimpan kekesalan pada Aga.

point of viewWhere stories live. Discover now