CHAPTER 15 - LUKA

34.5K 3.5K 125
                                    

Cinta itu sepaket, ada bahagia ada luka dan kesalahan terbesarku adalah berharap pada manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cinta itu sepaket, ada bahagia ada luka dan kesalahan terbesarku adalah berharap pada manusia.

-Gibran Andreas Senandika-

"Iya, Megin sedang hamil. Usia kandungannya delapan Minggu."

Cantiknya Gibran, bagaimana bisa?

Gadis yang terlihat lembut, penuh kasih, dan tidak pernah macam-macam bagaimana bisa berakhir seperti ini? Kapan? Bukannya Gibran selalu ada di sisinya? Bukannya tidak ada cowok yang mendekati Megin atau bahkan berteman dengannya selain Gibran?

Lalu?

Ya Tuhan.

Gibran menunduk, meremas tangannya kuat dan matanya memerah seolah ingin mengeluarkan air mata di sana. Gibran tidak pernah berpikir jika kejadian ini akan terjadi, ia masih belum bisa menerimanya. Namun, pada kenyataannya Megin tengah mengandung tanpa sepengetahuan Gibran.

Rasanya hancur.

Semua mimpi indahnya bersama Megin di masa depan nanti hancur begitu saja.

Sekalinya mencintai orang, kenapa harus sesakit ini?

Benar kata Bunda, cinta itu sepaket. Ada bahagia ada luka.

"Kandungannya sedikit lemah karena pengaruh makanan penggugur kandungan yang Megin konsumsi. Kamu harus mengawasi Megin agar tidak melakukan hal yang seperti itu lagi, kalau tidak kandungannya tidak akan bertahan. Ini cukup rentan, apa lagi usianya masih sangat muda."

Gibran tidak mampu bersuara, ia hanya menganggukkan kepalanya.

"Jaga teman kamu baik-baik, ya?"

Tidak ada jawaban, Gibran terlihat begitu frustasi. Ia keluar dari ruangan dokter Selin dengan tatapan kosong. Lorong ini cukup sepi, hanya ada Gibran seorang diri. Langkahnya terhenti di sana.

Megin hamil.

Gadis yang selama ini ia damba-dambakan untuk menjadi istrinya kelak tengah mengandung anak orang lain.

Siapa ayahnya?

"Arghhh!" Tembok keras itu menjadi korban emosi Gibran yang tidak bisa dikendalikan. Ia memukulnya cukup kuat sampai tangannya memerah. Mungkin sebentar lagi akan memar.

Napasnya memburu, otot-otot di tangannya terlihat menegang, dan rahangnya mengeras. Meski dalam kondisi emosi, Gibran masih ingat kata bundanya. Jika sedang emosi, duduklah agar emosi perlahan memudar.

Gibran pun duduk di kursi tunggu di sebuah ruangan. Ia menutup wajahnya dengan ke dua tangan.

Jujur, rasanya begitu menyakitkan.

Gibran ingin menarik pedang yang bersarang di dadanya dan membuatnya kesakitan, namun tidak bisa.

"Kenapa Megin?!"

910 : Sorry, I Hurt You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang