CHAPTER 09 - PATAH

32.9K 3.4K 16
                                    

Perhatian Reya teralihkan ketika melihat sosok yang selama dua hari ini tidak keluar dari kamar kini menampakkan dirinya dengan seragam sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perhatian Reya teralihkan ketika melihat sosok yang selama dua hari ini tidak keluar dari kamar kini menampakkan dirinya dengan seragam sekolah.

"Keluar juga lo dari kamar. Gue pikir udah mati!"

Tidak ada jawaban apa pun, Megin hanya diam saja seolah tidak ada yang berbicara.

"Kamu itu nggak pernah sadar diri, ya? Udah numpang, tinggal seenaknya sendiri. Kamu pikir ini rumah kamu yang cuma santai tidur aja?" Atika pun kesal, ia ingin memberi pelajaran pada anak itu.

Dua hari ia tidak bisa dihubungi dan mengurung diri di kamar membuat pekerjannya bertambah saja. Harusnya kan setelah pergi ia bisa santai bukan mengerjakan tugas yang seharusnya Megin lakukan.

"Orang tua saya menitipkan anaknya di sini. Saya bukan benalu, saya sadar diri. Untuk apa saya menyisihkan uang gaji saya untuk kebutuhan rumah dan memberi untuk Tante? Lalu bagaimana dengan harta orang tua saya yang kalian ambil? Apa itu tidak bisa membuat kalian menghargai kehadiran saya di sini?"

Megin sudah muak. Ia tidak tahan lagi mendengar semua kata-kata menusuk dari dua manusia yang merupakan bibi dan sepupunya sendiri. Tidak ada hubungan saudara, di sini hanya ada pembantu dan atasan.

"Lo didiemin makin nglunjak, ya!" Reya menggeram, ia berniat mendorong Megin namun anak itu mencekal tangannya dan membuangnya kasar.

"Nglunjak? Bukannya kalian yang ngambil hak anak yatim piatu?"

"Lo!"

"Gue bener, kan?"

Byur!

Matanya terpejam saat tiba-tiba Atika membuang air putih ke wajahnya. Membuat baju bagian atasnya basah. Tangannya terangkat, mengusap tetesan air yang tersisa di wajah dengan tatapan penuh emosi, namun sebisa mungkin Megin mengontrol ekspresinya.

"Anak biadab! Kalo kami nggak ambil uang kamu, gimana kamu bisa makan, huh? Gimana kamu bisa tidur, mandi, pake listrik. Kamu pikir hidup itu gratis? Gila kamu? Mikir!"

Megin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Untuk makan apa? Mereka jarang memberinya makan. Untuk memberinya kamar yang layak? Mereka hanya memberi kamar kecil dengan kasur yang keras. Listrik, air? Bukannya uang yang mereka ambil lebih dari untuk membayar itu semua dalam jangka waktu panjang? Dan apa itu semua diperhitungkan padahal mereka saudara bukan orang asing.

"Kalian yang gila!" akhir Megin. Setelahnya ia keluar dari rumah tanpa memakan apa pun dan dengan keadaan hati yang buruk.

Tidak peduli bajunya yang basah, Megin ingin cepat pergi. Megin teramat lelah.

Seperti biasa, ia menunggu di halte bus. Bus datang dengan cepat dan ia naik ke sana. Duduk di bangku belakang sambil melihat jalanan dengan tatapan kosong.

Ia bahkan tidak memberi tahu Gibran tentang kondisinya. Ia juga tidak memberi tahu Gibran jika hari ini akan berangkat sekolah.

Megin menghindar.

910 : Sorry, I Hurt You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang