Part 45

2K 270 41
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Jika dihadapkan dua pilihan oleh perasaan antar nyaman dan aman. Mana yang akan kau pilih?

~Into Divine Love

Karya : Syahda Khairunnisa ~









♥♥♥













Seorang wanita dengan gamis army dan kerudung hitam berlari ke arah kami. "Aku lama ya, Kak? Maaf tadi ada penelitian di lab," kata Nadia ngos-ngosan. Napasnya tersenggal-senggal.

"Gak, kok. Kami juga baru selesai shalat magrib. Kamu udah shalat?" tanyaku.

"Alhamdulillah udah, Kak. Tadi ke Mushalla di kampus dulu," jawabnya. Kak Arland menyuruhku dan Nadia untuk segera naik ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan Nadia bercerita banyak hal, mulai dari kegiatannya di kampus, organisasi dan hari-harinya menjelang skripsi. Aku mendengarkan dengan saksama dan sesekali menimpali. Rasanya senang berbicara dengannya, nyambung dan tidak seperti orang yang kehabisan kata-kata. Mungkin karena dia tidak punya Kakak perempuan dan aku tidak punya Adik. Jadi kami seolah menjadi Kakak dan adik perempuan yang saling merindukan. Anggap saja seperti itu.

"Seru banget ceritanya," sindir Kak Arland, dia sendirian menyetir di depan. Sudah persis seperti sopir dengan bosnya aku dan Nadia.

"Ini masalah perempuan. Abang gak boleh tahu," sahut Nadia sarkas. Aku hanya terkekeh melihat mereka berdua. Pasti seru punya saudara. Jika saja Kak Afkar masih ada, aku pasti sudah bahagia sekali seperti Nadia. Ada sosok pria yang melindunginya selain Papa. Sayangnya ... aku tidak pernah merasakan keduanya.

"Udah berasa kayak nyamuk Abang di sini," lanjut Kak Arland dramatis. Aku tidak menyangka jika ternyata Kak Arland sehumble ini dengan keluarganya. Lain kalau di kantor, formal dan sedikit menyeramkan kalau lagi kesal.

"Udah Abang fokus nyetir aja. Gak usah dengerin kaum hawa cerita," suruh Nadia.

"Gitu, tuh kalau udah dapat temen cerita baru. Abangnya dilupain," kata Kak Arland pura-pura merajuk.

"Iya, dong. Dan sebentar lagi Kak Alda bakal jadi Kakak ipar aku selamanya. Aku jadi bisa cerita setiap hari deh sama Kak Alda." Nadia memelukku dari samping, seperti ingin memanas-manasi Kak Arland? Aku tidak tahu.

"Gak boleh! Nanti istri Abang ya tinggal sama Abang. Kamu gak boleh dekat-dekat. Kalau sama kamu terus, kapan sama Abangnya? Pokoknya nanti dia Abang kurung biar gak ketemu sama kamu!" Kak Arland bicara sok tegas padahal aku tahu itu hanya candaan. Seperti ini ternyata hari-hari Kak Arland jika bersama Nadia.

"Yee ... kok marah? Nanti Nadia bilang sama Mama suruh Kak Alda tinggal di rumah aja. Gak usah tinggal sama Bang Arland."

"Istri siapa emang? Istri Abang 'kan? Ya harus nurut sama Abang. Bukan sama kamu."

"Abang pelit!" Kami tergelak bersama. Ada-ada saja perdebatan mereka.

Aku menatap ke luar jendela. Jalanan Jakarta cukup macet. Apalagi ini sabtu malam. Banyak sekali kendaraan bermotor berlalu lalang memadati jalan. Ada yang berboncengan, sendirian dan kebut-kebutan. Cahaya jalan yang remang-remang, tanpa angin ditambah langit tengah cerah. Membuat niat mereka seolah diridhai oleh Sang Pencipta untuk hura-hura.

Kami berhenti di pusat perbelanjaan khusus pakaian wanita. Aku dan Nadia sibuk memilihkan baju yang cocok untuk Tante Maryam. Katanya, Tante Maryam suka warna gelap seperti hitam, maroon, navy dan sejenisnya. Dan pilihan kami jatuh pada abaya Turki warna hitam dengan hiasan di pinggir tangannya. Untuk kerudung, kami membeli  warna cokelat susu yang menjuntai menutupi punggung. Tipe Tante Maryam sama persis seperti Mama.

Setelah selesai mencari kado kami makan di restoran Padang samping butik tadi. Malam kian larut dan aku diantarkan pulang oleh Kak Arland. Nadia sudah terlelap karena saking kelelahannya. Sepanjang jalan hanya ada keheningan. Sangat jauh sekali seperti tadi waktu pergi. Kak Arland sibuk menyetir dan aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Apa maksud pesan dari Nazran waktu itu? Dari mana dia tahu kalau malam itu aku dilamar Kak Arland? Oke, katakan mungkin dia tahu kalau aku dan Kak Arland akan menikah waktu di mana Kak Arland menyebut dirinya 'calon suamiku'. Tapi kenapa pesannya sangat begitu pas terkirim di hari yang sama? Sepertinya aku lupa kalau Nazran itu bisa melakukan apapun yang dia inginkan.

Sampai sekarang aku tidak tahu apapun tentang kabarnya. Proyek pembangunan resort sudah sepenuhnya selesai. Bahkan resort itu sudah difungsikan dan sekarang menjadi tranding topik karena nuansa dan letaknya yang strategis membuat turis dan pelancong nyaman menyewa resort itu. Dan itu artinya tidak ada lagi alasan yang membuatku harus berurusan dengan Nazran.

Apa mungkin ia sudah pergi ke Amerika menemui Papanya? Nomor whatsappnya sudah lama tidak aktif. Bahkan terakhir kali terlihat itu sebulan lalu, dan artinya Nazran ganti nomor. Suatu hal yang sulit dipercaya seorang yang penting sepertinya ganti nomor. Karena pasti rekan kerja dan koleganya akan sulit mencari nomornya.

"Alda..."

Aku terkejut saat Kak Arland memanggilku dengan nada yang sedikit keras, seperti kesal karena aku tidak menjawab panggilannya?

"I-iya, Kak?"

"Kakak panggil berkali-kali tadi tapi kamu masih sibuk dengan pikiran sendiri. Kamu lagi mikirin apa?"

"Nazran."

Detak jam seolah berhenti berdetak. Menyisakan aku dan Kak Arland yang sama-sama terkejut. Kenapa aku menyebut nama itu? Ada apa dengan mulut dan pikiranku? Aku yakin Kak Arland pasti marah sekali. Tidak seharusnya aku memasukkan nama pria lain di saat kami hendak menikah.

"M-maaf, Kak. B-bukan itu maksudnya. Aku-"

"Tidak usah dijelaskan. Kita sudah sampai. Kamu gak mau pulang? Nanti Tante Alya nyariin," potong Kak Arland tenang sekali. Seolah tidak ada yang terjadi. Aku membuka pintu dan sekali lagi melihat Kak Arland yang biasa saja. Tidak marah atau kesal sama sekali.

"Maaf, Kak. Sampaikan salamku pada Nadia dan Tante Maryam. Assalamu'alaikum," ucapku pelan seraya keluar. Kak Arland menjawab salamku dan mengangguk. Mobil pajero sport itu meninggalkan halaman rumahku menjauh. Ada apa denganku? Kenapa mulutku tidak bisa diajak kompromi?

"Kamu sudah melakukan kesalahan, Alda!" aku mengusap wajah frustrasi. Menatap mobil itu yang sudah tidak terlihat lagi. Lantas berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Sampai kamar kurebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar berwarna biru. Termenung memikirkan tadi. Aku juga bingung dengan perasaan sendiri. Di dekat Kak Arland aku merasa nyaman. Tapi di dekat Nazran, aku selalu merasa aman?

Mana yang seharusnya kupilih? Dia yang membuatku selalu aman atau saat berada di sisinya aku selalu nyaman?



















Maaf banget kemarin ada sedikit kendala jadi gak bisa publish :( 🙏




***


Bumi Allah, 12 Desember 2021.

Kalian bisa menemuiku di akun instagram : @syahdakhairunnisa_041004 dan @syahda_khair

Jangan lupa tag akun di atas jika men-copy sesuatu dari cerita ini.

Jangan lupakan Shalat dan tetap membaca Al-quran.
⚠️

~Syah

Into Divine Love (END) Where stories live. Discover now