PROLOG

340 59 212
                                    

THE THEORY OF METANOIA

PROLOG

Let's call it the theory of metanoia.❞

Newcastle, 2010

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Newcastle, 2010

        SURYA telah menyapa sejak beberapa jam yang lalu dan seharusnya seseorang yang telah disapa surya segera bangkit dari ranjang untuk membersihkan diri kemudian bergelut dengan kehidupan. Namun, hal itu tak berlaku bagi pria yang memangku sebuah buku di atas ranjang rapi yang sama. Meski surya yang dimuntahkan cakrawala berakhir digantikan rembulan pun, ia tak akan bangkit dari tempat itu meski beberapa urusan ingin disentuh olehnya.

       Ada sebuah ruang kosong di dalam hati dia semenjak kepergian rekan hidup dia tiga tahun silam. Ia yang selalu menawarkan keramahan dan kasih sayang kepada pewarisnya pun, kini ingin selalu menutup gorden pada jendela. Eksistensi pria nyaris seabad itu pun mulai dilupakan seiring berjalannya waktu, sementara lontaran kata yang dahulu dinantikan untuk dideklarasikan, kehilangan jati suara.

       Kini ia kembali disadarkan akan nasib yang sudah tertulis di garis tangan, atau di punggung jiwa yang ditiupkan, atau yang tergantung di atas awan, bahwa sejauh apa pun diri itu berhasil berlari, hasilnya seperti berjalan di tempat. Kenangan di akhir hidupnya hanyalah cerminan dari awal hidup seorang pria yang melihat kecacatan dunia; diacuhkan. Meskipun asumsi itu tak mau meninggalkan isi kepala, nyatanya masih ada seseorang yang peduli dengan keberadaan pria itu dan buku non-fiksi kegemaran dia. Persis seperti awal hidupnya yang hanya memiliki seseorang untuk dimintai perhatian.

       Pria itu sudah mengetuk pintu sebelum melenggang masuk ke dalam ruangan tanpa izin sang pemilik. Ia tahu sang pemilik ruangan tak akan merespons banyak karena pikirannya selalu terpaku pada pelayan wanita berusia dua puluhan akhir yang selalu keluar-masuk ruangannya hanya untuk mengantarkan hidangan ataupun menanyakan kabar. Namun, apabila pria yang kini duduk di sisi ranjang kembali menampakkan wajah, sang pemilik ruangan menemukan alasan untuk menampakkan pelangi di wajah pula.

       "Edward," gumamnya begitu pelan hampir terdengar seperti embusan napas. Sementara itu, alat bantu napas masih menutupi sebagian area wajah dia menjadikan senyuman tulus itu terhalangi transparansi si alat.

       "Bagaimana kabarmu, Kakek?" tanyanya dan lawan bicaranya belum menurunkan senyuman. "Sama seperti kemarin."

       Menurut Edward, pertanyaan pembuka itu hanyalah basa-basi yang selalu membuatnya terkekeh sebab sang kakek akan memberikan jawaban yang sama hari demi hari. Bahkan jika dirinya tak berjumpa setelah sebulan lamanya, ia tetap akan menjawab sama seperti kemarin.

       "Sarapan pagi ini hampir habis, itu bagus. Ayah pasti senang melihat ini. Jika masih tersisa banyak, dia akan mengomel soal biaya perawatan Kakek."

       Pria di hadapannya mengangguk manakala senyuman tipis ditampakkan. "Ayahmu tak sepenuhnya bersalah melakukan itu, Edward, karena dia tak berhutang apa pun padaku. Sudah kewajibanku sebagai ayahnya untuk memberikan fasilitas penunjang kehidupannya, tapi tidakkah perlakuannya di masa lansiaku juga termasuk kewajibannya sebagai seorang anak? Aku tak merasa berhutang sesuatu padanya."

The Theory of MetanoiaWhere stories live. Discover now