"Maaf jika aku terkesan menghardik, tapi sungguh aku tidak tahu harus berkata apa. Setidaknya turuti keinginan beliau sekali aja. Eren. Apa salahnya pulang?"

"... Meski aku kembali tidak akan merubah apa pun, Historia."

"Ayo lah, kita semua sudah dewasa. Lupakan semuanya, sudah waktunya kamu bangun. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Sudah banyak waktu kamu buang hanya untuk merenung. Berhenti lah menjadi pecundang Eren. Sekarang saatnya untuk berdamai dengan diri sendiri dan maju ke depan. Ego tidak ada artinya ... Apa kamu tidak malu kepada Mikasa? Pulang dan katakan padanya bahwa kamu juga mencintainnya. Dia akan menyesal jika pria yang dia cintai ternyata seorang pecundang seperti ini. Sungguh Eren---Aku mohon, jangan membuat perkara lebih banyak atau kamu juga akan menyesalinya. Banyak keajaiban tidak terduga di dunia ini, jadi tentukan pilihanmu. Kesempatan tidak akan pernah datang berkali-kali."

Suara Historia mencuat, segera mematikan teleponnya sebelum dia menangis. Historia merasa bodoh, kenapa dia harus bertindak sejauh ini agar Eren pulang, padahal itu bukan urusannya. Dia bisa saja menolak perminaan Mikasa tempo hari, bisa-bisanya Historia menyebut nama perempuan itu. Tapi mau disangkal bagai manapun kenyataan akan tetap sama---Mikasa adalah satu-satunya alasan kenapa Eren pergi dan pulang. Bukan dirinya. Historia kehabisan kata-kata, tidak tahu lagi. Dia ingin sekali berteriak.

Sementara Eren, tetap tidak bergeming.

Dia mengamati hamparan padang gersang. Dia tengah berdiri dibawah sebuah pohon yang nyaris mati. Sekilas dia melihat layar halaman utama ponselnya, yang menunjukan sesosok perempuan muda tengah tersenyum menatapi sesuatu, sambil menopang dagu di dalam kelas.

Tanpa disadari seseorang datang memanggil Eren dari arah belakang, dia segera menoleh. Teriknya matahari membuat pandangannya menyipit, melihat orang tersebut Eren kemudian tersenyum. Seorang bocah laki-laki berkulit hitam, dengan kepala yang tidak ditumbuhi rambut. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh membuat siapa pun yang melihatnya akan iba.

"Kakak Eren, kenapa? Setiap melihat foto itu pasti terlihat sedih." Padahal Eren sedang tersenyum. Eren menepuk-nepukan pundak bocah itu, akrab.

"Kamu ini ya, sok tahu!" katanya sembari tertawa kecil. "Ayo kita lanjutkan kegiatan kita," Eren berusaha untuk tidak membahas lebih banyak. Namun bocah itu sepertinya sadar jika Eren mengalihkan pembicaraan.

Eren berjalan menuju bangunan yang kondisinya meminta banyak perhatian. Tidak juga bagus, tapi lumayan besar. Terdapat gedung asrama yang memiliki kamar-kamar kecil berfungsi untuk menampung anak-anak. Juga auditorium, dapur, tempat sanitasi, dan ruang lobby yang cukup layak. Salah satu panti asuhan yang berada di Ethiophia. Sudah sebulan ini Eren mengikuti kegiatan sosialnya di sana, yang sebelumnya masih di sekitar asia tenggara.

"Maaf aku merepotkanmu," tukas Eren merasa tidak enak kepada seorang pria yang nampak seusianya. Sebab dia telah mengerjakan pekerjaan Eren selagi mengangkat telepon barusan. Armin, teman sekaligus kolega terdekat Eren semenjak dia bekerja di perusahaan NGO. Dia tersenyum teduh.

"Tidak masalah," jawabnya sambil menepis udara. Wajahnya lembut dengan postur tubuh yang sedikit lebih pendek dari Eren.

"Keluargamu mencarimu lagi?" tanya Armin seraya sibuk mengatur buku-buku dari hasil donasi. Dikeluarkannya dari dus untuk di susun di perpustakaan. "Aku sudah sering mendapati kau dicari-cari seperti itu. Santai saja denganku."

Eren menyeringai penuh arti, Eren tahu Armin memintanya untuk bercerita. Tapi enggan, dia tetap tutup mulut lalu ikut mengatur buku-buku. "Sudah dua tahun kau mengenalku, kau sudah pasti tahu jawabannya. Tanpa ku ceritakan lagi."

"Aku tahu. Tapi lebih jelasnya tidak, makanya aku masih penasaran. Terlebih dengan foto seorang perempuan di layar ponselmu. Kamu sering sekali memandanginya."

Forbidden ColorWhere stories live. Discover now