The Unknown Number

21 3 0
                                    

"Macau International Airport?" tanya Johnny mengulang pernyataan yang baru saja diberikan oleh Mark. Juniornya itu pun segera mengangguk. Sementara itu, Johnny kembali menopang dagunya. Pikirannya sedang mencoba untuk menyatukan potongan puzzle yang diberikan oleh si pengirim pesan tersebut.

"Makau adalah tempat di mana pesta lelang terbesar se-Asia diselenggarakan dan Jeff hadir dengan membawa Braile yang baru saja bekerja sebagai asisten pribadinya. Sesuatu besar apa yang diketahui oleh pengirim pesan itu sehingga bisa membantuku dalam menyelesaikan misi? Dan juga, kenapa orang itu baru muncul sekarang? Apakah dia secara diam-diam menyelidiki kasus yang sama denganku? Tapi mengapa? Apa dia ada kaitannya dengan ayahku?"

Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Johnny membuat kepala Mark seakan penuh. Mendadak, kepalanya menjadi pusing hanya dengan mendengarkan apa yang diucapkan oleh Johnny.

"Aku tahu otakmu sudah lama kau istirahatkan. Tapi, sekalinya kau gunakan otakmu untuk berpikir, itu terasa begitu mengerikan, John." Namun, Johnny seakan tuli. Dia tidak menggubris apa yang baru saja dilontarkan oleh Mark. Johnny justru masih sibuk dengan pertanyaan demi pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya.

"Siapa SA? Mengapa dia menawarkan bantuan?"

Mark pun hanya bisa menggeleng pasrah dan melangkahkan tungkainya keluar dari ruangannya. Mencoba untuk mencari udara segar sembari mengisap kopi yang dibelinya dari kafe yang terletak di kafetaria kantor BIN.

Sedangkan di dalam lift kantor Jeff sekarang, Braile mendengar sayup-sayup kalimat-kalimat tidak yang ditujukan kepadanya. Kalimat-kalimat yang sungguh tidak enak didengar oleh telinga. Sama seperti yang pernah ia dengar sebelumnya, namun kalimat yang didengarnya hari ini semakin terdengar sangat frontal.

"Padahal sedari awal Pak Jeff tidak pernah mempekerjakan karyawan yang membawahinya secara langsung. Tapi, mengapa perempuan itu menjadi pengecualian?" bisik salah satu perempuan berambut pendek itu kepada rekannya. Di mana bisikan itu memang sengaja dilontarkan secara keras sehingga Braile yang menjadi sasaran dapat mendengarnya.

"Mana dia berada dalam satu ruangan dengan Pak Jeff dan sampai dibuatkan ruangan sendiri lagi," timpal sang lawan bicara. Sementara Braile tetap berusaha tenang. Berusaha untuk mengabaikan omongan yang harus dia akui membuatnya begitu risi.

Hingga akhirnya pintu lift terbuka, membuat semua yang ada di dalam sana begitu terkejut akan siapa yang saat ini sedang berdiri di depan sana. Semua langsung menunduk, memberikan hormat kepada Jeff yang saat ini memaksakan diri untuk tetap masuk kerja.

"Selamat pagi, Pak Jeff," sapa sang karyawan yang tadi sempat membicarakan Jeff dan Braile. Jeff membalas dengan sebuah senyuman kemudian membalas salam tersebut.

"Selamat pagi." Jeff menjeda kalimatnya. Mencondongkan badannya ke arah Braile yang kini berdiri di samping kanannya. "Selamat pagi juga, Nona Braile," sapanya yang membuat para karyawan perempuan di sana menatapnya dengan pandangan tidak mengenakkan. Sementara Braile hanya menatap nyalang ke arah Jeff. Sebab, saat ini harusnya pria itu masih beristirahat di rumah untuk menyembuhkan lukanya.

"Pak Jeff, saya dengar Anda kemarin sakit. Apakah kondisi Bapak sudah membaik?" tanya karyawan yang sama.

"Ya, kondisi saya sudah membaik. Semua ini berkat Nona Braile," jawab pria itu sembari tersenyum memandang ke arah Braile. Meskipun para karyawan wanita yang berada di dalam lift sekarang tidak suka dengan kehadiran Braile, namun senyum yang diulas pada wajah rupawan Jeff itu membuat mereka terhanyut.

"Kalau begitu, saya dan Nona Braile permisi dulu," pamit Jeff dengan senyum yang masih terukir di wajahnya sembari tangan kanannya merangkul pundak Braile kemudian bertolak dari sana.

TRAP | Jung JaehyunWhere stories live. Discover now