Kabar Bagus yang Buruk

85 10 0
                                    

Jeff mengepalkan tangannya, menyalurkan amarah yang bergejolak ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Taeyong barusan. Anak buahnya itu memang memiliki intuisi yang tajam. Akan tetapi, entah bagaimana, separuh diri Jeff berusaha untuk menepis kenyataan tersebut.

“Benar, bisa saja Taeyong salah. Feeling manusia tidaklah selalu tepat,” monolog Jeff.

Pria itu berjalan menuju kamar hotelnya dengan sedikit frustasi. Ia tidak bisa membayangkan jika memang benar bahwa Braile adalah seorang agen. Bagaimana dengan rencana yang akan dia dan Taeyong lakukan? Jeff tidak mau Braile menjadi penghalang dari segala macam rencananya.

Jeff merebahkan tubuhnya. Menghela napas panjang, pria itu melepas satu kancing atas kemejanya lalu berlanjut dengan merenggangkan ikatan dasi yang terasa sesak. Jeff berusaha memutar otak dan mencoba lebih fokus untuk berpikir.

Beberapa menit setelah menatap kosong langit-langit kamar hotel, terlintas sebuah gagasan di otaknya. Pria itu kembali terduduk. Dicarinya ponsel yang tadi dilemparkannya ke lantai sebagai penyalur amarah. Jeff kembali beradu pandang dengan layar ponsel, mencari nama seseorang yang muncul dalam benaknya.

“Keahlianmu masih sama hebatnya, 'kan? Kau bisa mengakses data rahasia? Tolong carikan satu nama untukku. Aku kirimkan datanya ke Email-mu,” tulis Jeff dalam pesan singkat tersebut.

Sepertinya, hari ini menjadi hari yang sangat buruk bagi Jeff. Berapa kali dia mencoba untuk menghardik pikiran seputar latar belakang Braile, namun tetap saja, usahanya hanya menghasilkan sebuah kesia-siaan. Di antara banyak tempat, mengapa Braile harus bekerja di kasino? Meminta izin menjenguk nenek ketika dia sedang berada dalam jam kerja? Bertemu dengan pria yang dicurigai Taeyong di area dekat paviliun yang tidak dipasang CCTV? Dan … mengapa Braile menyebutkan ‘misi’ serta ‘kasus’? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran sang pemilik perusahaan properti tersebut. Jika dipikir, semuanya terasa masuk akal. Jeff pun mengacak rambutnya dengan penuh frustasi.

Jeff ingin segera bertemu dengan Braile dan meminta kejelasan seputar latar belakang wanita tersebut. Akan tetapi, niat itu harus segera diurungkannya. Bagaimana jika dugaannya ternyata salah? Tentu saja semua rencana Jeff yang sudah dia susun akan hancur. Membayangkannya saja sungguh begitu memuakkan. Jeff tidak ingin jika dirinya harus disidik dan berurusan dengan pihak penegak hukum yang tidak bekerja sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Namun, Jeff akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Braile, mengatakan bahwa Jeff akan segera berkunjung ke kamar asisten barunya tersebut.

Setelah mendapatkan pesan singkat dari bosnya, Braile segera merapikan diri, berpamitan kepada Johnny, dan bergegas menuju kamar hotel yang sudah disewa untuknya. Braile berhasil mengejar kecepatan pintu lift yang hampir tertutup. Setelah melewati beberapa lantai, akhirnya Braile sampai di lantai tempat kamarnya berada. Wanita itu dapat bernapas lega karena ia sampai terlebih dahulu, mendahului kedatangan bosnya.

Braile masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara bel berbunyi. Braile dapat menangkap sosok Jeff melalui layar kecil yang terpasang di dekat pintu. Braile mempersilakan bosnya tersebut untuk masuk.

“Ada apa, Tuan?” Braile memutuskan untuk membuka suara setelah dirasa bahwa suasananya berubah sedikit canggung.

“Braile?” Bukannya menjawab pertanyaan Braile, Jeff justru memanggil nama asisten barunya tersebut.

“Ya, Tuan?”

“Kenapa kau kaku sekali? ‘Baik, Tuan. Iya, Tuan.’” Jeff menirukan cara bicara Braile.

“Cukup panggil nama saya—Jeff,” lanjutnya kemudian.

Braile menggaruk tengkuknya. Situasi seperti ini justru membuat dirinya merasa semakin canggung. “Ah, bolehkah?” tanyanya dengan penuh kehati-hatian.

TRAP | Jung JaehyunWhere stories live. Discover now