Jejak Dalam Benak

81 2 0
                                    

~Jejak langkahmu dalam benak ini membuatku percaya, bahwa perpisahan tak selalu meninggalkan luka~

*

*

Satu armada bus menuju kota Semarang yang tersisa masih belum penuh penumpang

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Satu armada bus menuju kota Semarang yang tersisa masih belum penuh penumpang. Lelaki tampan yang duduk di samping Reza itu seketika melirik ke arah jendela, matanya terbelalak saat mendapati Bulan berada di dekat bus yang ia tumpangi.

"Bulan?"

Ia bergegas keluar dari bus untuk menghampiri Bulan. Reza dibuat kebingungan dengan sikapnya, "Bintang, lo mau ke mana? Sebentar lagi bus ini mau berangkat."

Bintang tidak menggubris ucapan Reza, yang dia inginkan saat ini adalah menemui Bulan. Ia tak menyangka kalau gadis itu mau datang jauh-jauh ke terminal hanya untuk dirinya. Sementara Bulan sudah pasrah dan putus asa, ia kehilangan harapan. Bulan memilih untuk pergi, meninggalkan tempat yang telah menanamkan luka di hatinya.

Baru selangkah Bulan berjalan, dari arah belakang seseorang mendekap tubuhnya—sangat erat seraya tak ingin melepaskan. Dia menempatkan kepalanya di ceruk leher Bulan, deru napas yang agak berat terdengar di telinga gadis itu, ia terkejut bukan main mengetahui Bintang masih berada di terminal. Namun, Bulan tak sanggup berbalik badan menatap wajahnya. Ia hanya bisa meluapkan tangis sambil mengepalkan tangan menahan degup jantung yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

"Aku nggak menyangka kalau kamu akan datang. Maafkan aku, Bulan. Maafkan aku," ucap Bintang berkaca-kaca. "Aku terlalu egois dan selalu mementingkan hidupku sendiri. Padahal ada seorang gadis yang tak pernah lelah berjuang untuk diriku, dan selalu menanti kehadiranku. Aku mohon maafkan aku, Bulan."

Air mata Bulan menetes tepat dia atas tangan Bintang yang sedang memeluknya. Ia tak sanggup mendengar nada bicara Bintang yang begitu lembut, membuat Bulan terharu. Kakinya yang gemetar ia paksakan untuk berbalik badan. Tangan halusnya menyentuh wajah tampan Bintang yang memerah menahan tangis.

"Kamu jahat, Mas. Beraninya kamu meninggalkan aku lagi tanpa pamit," ucap Bulan sendu.

Bintang menundukkan kepalanya, memandangi wajah Bulan membuat Bintang merasa malu dan bersalah, "Maafkan aku, Bulan. Selama ini aku sudah menyia-nyiakan kamu yang begitu mencintaiku. Aku selalu sibuk dengan duniaku sendiri, sampai aku lupa ada seseorang yang tak pernah lelah memberikan dukungan atas jalan yang ku pilih. Aku memang lelaki pengecut, Bulan."

Bulan menempatkan jari telunjuknya tepat di bibir Bintang, agar dia berhenti merutuki dirinya sendiri. "Kamu bukan pengecut, Mas. Kamu hanya belum menyadari cinta yang kini sedang tumbuh dalam hatimu. Aku yakin, cinta itu kini telah siap untuk mekar."

Bintang kembali menatap Bulan, "Dari mana kamu bisa tahu kalau aku juga mencintai kamu? Padahal aku sering melukai perasaanmu dan membuatmu menangis, nggak pernah memberikan kebahagiaan untukmu."

DIFFERENTDonde viven las historias. Descúbrelo ahora