Insiden

89 7 40
                                    

~Tanpa kamu sadari, orang terdekatmu adalah musuh terbesarmu yang sebenarnya~

*

*

"Eh, besok sore kita ada praktik anatomi, 'kan?"

"Iya. Duh, gue paling malas kalau udah praktik anatomi. Nggak kuat banget ngeliat cadaver. Bau busuk menyengat, bikin gue pengen muntah terus bawaannya."

"Haha. Minum wedang jahe sebelum masuk ruang lab, biar perut lo bisa diajak kompromi."

"Kayak orang zaman dulu aja minum wedang jahe."

"Justru pengobatan cara tradisional jauh lebih menyehatkan, dari pada harus bergantung sama obat-obatan yang mengandung bahan kimia."

"Iya juga, sih. Nanti gue coba pesan minuman jahe di warung Bi Siti, deh."

"Sip, seenggaknya bisa meminimalisir rasa mual lo sebelum membedah cadaver."

Sebuah info yang sangat menarik. Seseorang mendengar percakapan dua orang mahasiswi Fakultas Kedokteran yang melintas di hadapannya.

Mereka akan melakukan praktik anatomi (bedah mayat) di ruang lab. Sebagai materi dasar yang harus dikuasai oleh para mahasiswa Fakultas Kedokteran semester awal. Nantinya, mereka akan berhadapan langsung dengan cadaver (mayat) yang telah disediakan oleh pihak lembaga kampus—sebagai ilustrasi layaknya seorang dokter saat membedah pasien di ruang operasi.

"Bagus, dengan begitu gue bisa pakai ruang lab sebelum mereka mulai praktik," ucapnya dengan senyuman smirk. "Bintang, let's start the game!"

Esok hari menjelang sore, kebetulan Arsenio tidak memberikan pekerjaan kepada Bulan sehingga ia bisa pulang lebih awal. Dia dan Bintang sudah berencana untuk bertemu selesai jam kuliah.

Sementara itu, Bintang sedang duduk santai di kantin bersama Reza, sambil menikmati semangkuk mie ayam bakso dari kedai Mang Dadang. Reza makan dengan lahap, sedangkan mangkuk di depan Bintang masih penuh. Sejak tadi dia sibuk memainkan ponsel—saling berkirim pesan dengan Bulan.

Ia berniat mengajak Bulan berkeliling kota Jakarta. Menyeruput minuman hangat dan mencicipi jajanan ringan kaki lima sambil bercengkrama, pastinya terasa lebih menyenangkan ketimbang di restoran mewah dengan harga tiap menu yang fantastis hanya untuk sekali makan.

"Bintang, kenapa lo nggak makan?" tanya Reza.

"Za, gue harus cabut sekarang."

"Mau ke mana? Itu mie ayam lo masih utuh."

"Buat lo aja. Gue mau makan di luar, nggak mood kalau di sini," jawab Bintang. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan kantin.

"Makan di luar? Tumben banget. Nggak biasanya dia mau pergi ke tempat makan. Apa jangan-jangan, ada someone yang mau dia ajak jalan?" terka Reza. "Ah masa bodoh, yang penting gue kenyang berkat mie ayam gratis dari dia." Reza langsung menyabet mangkuk kedua milik Bintang yang sudah menanti untuk dinikmati.

Senyuman manis kembali terurai di wajah Bintang tatkala ia membaca pesan dari Bulan. Gadis itu menyetujui untuk pergi berdua dengannya. Bintang tidak sabar ingin menghabiskan waktu bersama Bulan, yang sebelumnya tak pernah terealisasikan.

Sejak berada di kantin, seseorang mengikuti Bintang dan memperhatikan gerak-geriknya. Dia sudah menunggu untuk menggencarkan aksinya mengerjai Bintang. Saat Bintang keluar dari kantin dan berjalan menyusuri koridor, dia juga menguntit Bintang di belakang dan memanggilnya, "Bintang."

Bintang berhenti melangkah, lalu menoleh ke arahnya. Ia hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun saat melihat orang yang memanggilnya. Sosok misterius itu berjalan mendekati Bintang dan berdiri di hadapannya—menatap dengan mimik wajah yang tak terbaca.

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang