26

81 8 0
                                    

“Ku pikir, aku ingin pulang sendiri untuk saat ini...” gumamku saat Galang mulai membukakan pintu mobilnya untukku. Dan tindakannya terhenti begitu saja, lalu memandangku tak percaya.

“Dan kamu kira, aku akan membiarkan kamu pulang sendiri, begitu?!” Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat. Dan aku dapat melihat perubahan raut wajahnya, dan aku tidak menyangka jika Galang kembali menutup pintu mobil itu dengan keras, membuatku terkejut.

Dia bersandar di mobil dan menyedekapkan kedua lengannya di depan dada. Menatapku dengan tajam. “Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendirian, Lily...” Dia berdesis tajam. “Dan aku tidak ingin lagi kehilangan orang yang aku cintai, karena sikapku yang lalai. Aku tidak mau.”

“Aku tahu... hanya saja, tolong jelaskan padaku, kenapa dia ingin sekali mengambilku darimu. Kamu bahkan tidak menjelaskannya sama sekali. Menyuruh Silvi pergi begitu saja, tanpa ada kejelasan, sama seperti yang aku rasakan sekarang, Galang.” Aku menghela napasku lelah. “Aku juga harus tahu alasannya... untuk menjaga diriku sendiri... dan keluargaku, orang tersayangku.”

“Lily...” Dia mendekat ke arahku dan menyentuh pipi kiriku dengan telapak tangan kanannya. Memandangku sendu. “Kau tidak akan paham kegelisahan dan juga ketakutanku yang ini, Lily... dan meski kau bisa, aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Aku hanya ingin kamu berada di jangkauanku, dalam pengawasanku, untuk melindungimu.”

Aku membalas tatapan kedua matanya. Menggigit bibir bawahku, dan aku memerah. “Galang... Aku mohon...” Aku kembali menghela napas, dan mengusap rahangnya. “Ini juga menjadi bebanku sekarang. Jika kamu tidak mau memberitahuku... tidak apa...”

Dan aku melihat keterkejutan di matanya, dan wajahnya yang mulai sedikit lega. “Tapi, aku ingin pulang sendiri, sekarang,” lanjutku, yang membuat Galang tercengang, hingga membuatnya melepas sentuhannya kepadaku.

“Lily... sudah ku katakan kepadamu, aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri. Dan itu tidak akan terjadi.” Galang menggenggam tangan kananku dan menariknya pelan. Dia tidak pernah bisa memaksaku, dengan tindakannya. Dan aku menghentakkan pegangannya hingga terlepas. Aku tahu jika aku membuat hatinya merasa sakit, tapi aku juga perlu melakukan ini.

“Lily??” Dia bergumam tak percaya dan menatapku.

“Ku mohon, Galang... biarkan aku pulang sendiri sekarang. Hanya hari ini saja, besok kau bisa menjemputku, mengantarku dan juga menemaniku. Tapi, aku hanya perlu hari ini saja. aku perlu untuk menenangkan diriku.” Aku berusaha untuk meyakinkannya, meski dari tatapan Galang, dia masih tidak ingin melepaskanku. “Aku perlu ketenangan saat ini. Hanya itu saja.”

Galang terdiam, dan mulai mengalihkan pandangannya dariku. Kepalanya mengangguk-angguk. Wajahnya menampilkan senyuman, tanpa menatapku lagi. “Galang?” Aku mulai merasa khawatir terhadap perasaannya, yang kini aku yakini merasa sakit atas kekeras kepalaanku barusan.

“Aku paham, Lily... aku sangat paham. Kau boleh pulang sendiri sekarang. aku tidak akan mencegahmu lagi. Aku akan menuruti apa yang menjadi keinginanmu saat ini. Oke? Jadi jangan merasa khawatir... aku memang tidak berguna. Aku tahu itu. Aku hanya orang cacat, yang mencoba untuk menjadi sempurna di kedua matamu.” Kedua telapak tangannya mengepal kuat.

“Tidak seperti itu Galang... aku tidak bermaksud seperti itu...” Aku maju beberapa langkah untuk mendekatinya. Namun langkahku terhenti saat Galang menatap ke arahku langsung dengan cepat.

“Kau bisa pulang sekarang... dan aku akan memikirkan semua ini...” Dia melangkah menuju pintu mobil yang ada di sisi lainnya. Membuka pintu dan berhenti, kembali menatap ke arahku yang hanya bisa terdiam menatapnya. “Setelah sampai rumah, kau harus istirahat Lily... atau setidaknya hubungi aku, agar aku tahu kamu baik-baik saja.”

Galang dengan cepat masuk ke dalam mobilnya, tanpa membiarkanku untuk bisa menjawab ucapannya. Aku terdiam. Dan aku tahu, dia tersakiti olehku. Mobilnya berjalan dengan kecepatan sedang, meninggalkan halaman kampus. Aku menggenggam kedua telapak tanganku dengan erat. Menggigit bibir bawahku untuk kesekian kalinya. Dan aku pun mulai melangkahkan kedua kakiku, meninggalkan area kampus. Berjalan di sisi-sisi jalan yang ramai.

Menikmati kesendirian yang kini ku butuhkan. Hembusan angin yang cukup kencang menerpaku, dan membawaku semakin rileks. Seakan sedikit demi sedikit beban pikiran yang ada, mulai berkurang. Aku melangkah menuju taman terdekat. Sudah sangat ramai disana, anak-anak kecil berlarian kesana kemari, para orangtua yang berbincang dan tertawa. Dan aku ikut tersenyum melihatnya. Ku putuskan untuk duduk di salah satu bangku taman yang kosong. Menikmati sisi kesunyian. Namun nyatanya saat aku mulai memikirkan kembali tentang teror – teror itu, ada sisi dalam diriku yang semakin terasa tertekan dengan itu.

“Ini sama sekali tidak berhasil...” Aku bergumam. Dan nyatanya aku merasa sangat menyesal karena tidak menuruti apa yang dikatakan oleh Galang tadi. Aku mulai bangkit dan berjalan meninggalkan taman itu. Aku harus segera pulang.

Langkahku terus mengayun, melewati banyak ruko. Berhenti sejenak, dan menatap ke arah kanan dan kiriku, memastikan jalanan yang lengang, untuk bisa menyeberang jalan. Setelah memastikan, jalanan lengang, aku mulai melangkah tepat di zebra cross. Entah mengapa jantungku berdetak kencang.

“HEI! AWAS!!” Teriakan seseorang membuat langkahku terhenti dan menatap orang itu, serta ke arah lain dimana dia menunjuk. Tanpa ku sangka, sebuah mobil hitam berjalan cukup kencang ke arahku. Dan tiba-tiba ku rasakan rasa sakit yang amat sangat di tubuhku. Aku berteriak, namun rasanya tak ada satu suara pun yang keluar dari mulutku. Tubuhku semakin terasa sakit saat menabrak aspal. Napasku terengah, dan aku melihat mobil itu terus melaju. Banyak suara yang terdengar, hingga membuat kedua telingaku berdenging. Aku dapat merasakan banyak tangan yang mencoba meraihku. Lalu semuanya menggelap.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Where stories live. Discover now