17

84 9 0
                                    

Magdum tidak mengangkat panggilanku untuk yang kelima kalinya. Aku menghela napasku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang. Memandang ponselku dan mulai berharap, bahwa Magdum segera menghubungiku kembali, tapi tidak. Bahkan sejak menghubunginya pertama kali, hanya ada nada sambung yang terus berbunyi. Dan ya, hal itu membuatku yakin, bahwa Magdum mulai membenciku. Aku menelungkupkan tubuhku, dan memiringkan wajahku, menatap langit yang menghitam.

Aku ingat, saat-saat dimana Magdum menghubungiku dan selalu bisa membuatku tersenyum. Tapi, walaupun kini aku memiliki Pak Galang yang selalu bisa membuatku tersenyum, dan Magdum yang menjauh juga, aku merasa sangat kesepian. Tidak lengkap. Dan aku mulai mendudukkan tubuhku, bersandar. Segera, ku tulis pesan untuk Magdum, melalui WhatsApp. Dan untungnya, dia sedang online.

Magdum, aku mohon, jawab teleponku. Atau setidaknya, balas pesanku. Aku ingin menjelaskan semuanya, hingga tidak ada salah paham di antara kita. Aku tidak ingin hubungan persahabatan kita ini malah menjadi rusak dan hancur. Ku mohon. Kamu adalah sahabat baikku, Magdum... ku mohon, bisakah kita bicara? Terserah dimana saja dan kapan, setidaknya kita bisa segera bicara.

Tanpa menunggu waktu yang lama, tulisanku sudah bercentang dua denan warna biru disana. Magdum membacanya. Tapi, aku menunggu dengan sedikit lama, dan dia tidak segera membalas pesanku. Aku menggigit bibir bawahku. Astaga. Bagaimana jika Magdum tetap tidak mau membalas pesanku? Aku menghela napas lelah, dan meletakkan ponselku di atas meja. Memandangi pigura foto yang ada di atas meja itu, fotoku dan juga Magdum, saat merayakan ulangtahunnya yang ke dua puluh empat. Aku ingat, saat itu, dia mengajakku ke wisata air terjun, dan juga wisata air panas. Itu sangat menyenangkan. Dan aku, sangat merindukan hal-hal itu.

Aku tidak tahu resiko ini akan terjadi dan ku alami, hanya karena aku mencintai Pak Galang. Aku juga tidak menyangka, jika Magdum masih saja menyimpan rasa padaku. Aku menutup kedua mataku sejenak, mengatur kembali napasku yang terasa semakin sesak, saat kenanganku bersama Magdum terus bergulat di dalam pikiranku. Membuka kembali kedua mataku, dan aku mulai bangkit dari ranjang, dan berjalan mendekati jendela. Hari mulai malam, dan aku tidak akan tahu apa yang harus ku lakukan besok, saat bertemu lagi dengan Magdum di kampus.

Cling

Aku terkejut saat mendengar suara yang berasal dari ponselku. Segera ku berbalik dan mengambil ponselku. Aku mengernyitkan dahiku dalam-dalam, saat membaca sebuah pesan dari nomor ponsel orang yang tidak ku kenal.

Sebaiknya kamu segera menjauh dari Galang, kalau tidak kamu akan mendapatkan balasannya. Jauh lebih menyakitkan.

Sebuah ancaman. Apa maksud dari pesan ini? Kenapa dia memintaku untuk menjauh dari Pak Galang? Mungkinkah ini Magdum? Tapi tidak mungkin. Dia tidak mungkin bisa melakukan itu. Aku segera mematikan ponselku. Dan bisa ku rasakan detak jantungku yang semakin meningkat. Astaga. Aku menggigit bibir bawahku lagi. Aku meletakkan ponselku di atas ranjang, dan berlari keluar kamar, mencari Kak Refi. Dan untungnya, Kak Refi masih ada di ruang tamu, menonton televisi. Aku semakin mendekat ke arahnya, dan melompat ke atas sofa tempatnya duduk dan memeluknya dengan sangat erat.

“ADUH! APA-APAAN SIH DEK?!” Kak Refi berteriak kencang. Tentu saja, dia selalu terkejut, dan sangat heboh. Aku semakin memeluknya dengan erat, saat Kak Refi berusaha untuk melepaskan pelukanku darinya. Hingga tarikannya semakin kuat, dan membuatku melepaskan pelukanku. Aku tidak tahu mengapa tatapanku memburam, dan sialnya, air mataku jatuh begitu saja. Aku sangat ketakutan. Tentu saja. Kak Refi mengusap wajahku perlahan.

“Hei... ada apa? Kenapa kamu menangis, hmm? Apa masih tentang Magdum?” Aku menggelengkan kepalaku, dan mengusap air mataku perlahan. Aku menatap Kak Refi yang juga menatapku dengan penasaran.

“A-aku barusan mendapat ancaman...” Aku bergumam, dan berharap suara sesegukkanku yang masih ada tidak membuatnya samar.

“APA?! BAGAIMANA MUNGKIN?! APA KAMU KENAL DENGANNYA?!” Aku menggelengkan kepalaku perlahan.  “Apa isi ancamannya?” Kak Refi bertanya sekali lagi kepadaku.

“Isinya, agar aku menjauhi Galang...” Kak Refi seketika saja menarikku untuk mendekat ke arahnya, memelukku dengan sangat eratnya.

“Besok akan kita bahas lagi, oke?! Sekarang kamu ke kamar, dan istirahat. Biar besok, aku dan juga Galang yang akan mengurus ini,” pinta Kak Refi. Aku menatapnya, dan menggelengkan kepalaku perlahan.

“Aku tidak bisa tidur sekarang...” Aku bergumam kecil, dan Kak Refi beranjak pergi. Aku menolehkan kepalaku, dan menatapnya yang berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dan saat keluar, aku melihat Kak Refi membawa dua buah selimut tebal, dia tersenyum lembut.

“Kalau begitu, kita tidur disini sekarang. Kakak akan menjagamu, oke?!” ucap Kak Refi sambil melilitkan tubuhku dengan selimut tebal. Dia duduk disampingku, dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Aku merasa aman. Meski dalam hati, aku masih merasa takut akan ancaman itu. Lagipula, selama ini aku tidak punya masalah terhadap orang lain, teman, sahabat atau orang asing sekalipun.

Dan tanpa terasa, kedua mataku mulai memejam. Menghantarkan rasa kantuk yang amat sangat. Kak Refi terus mengusap perlahan rambutku dan bergumam kecil, menyanyikan sebuah lagu. Dan aku tertidur.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Kde žijí příběhy. Začni objevovat