3

224 14 0
                                    

Magdum membantuku naik ke atas sepeda motor sport-nya. Dia benar-benar menepati janjinya untuk mentraktirku makan. Dan seperti biasanya Kak Refi memberikan tips dan trik untuk membuatku luluh. Yang pasti itu tidak akan pernah berhasil, dan Magdum pun tahu akan hal itu. Tapi, sepertinya Kak Refi sangat menyukai Magdum untuk menjadi adik iparnya saat ini, hingga melakukan itu. Apa seharusnya aku mengatakan pada Kak Refi kalau dia tidak perlu lagi melakukannya.

Karena Magdum pun paham pada perasaanku, yang sama sekali tidak akan mungkin bisa menerima dia lebih dari seorang sahabat yang baik. Magdum mengendarai sepeda motornya menuju sebuah restoran–kesukaan kami. Dia selalu membawaku kesana jika ada acara tertentu. Dia sekali lagi menggenggam tangan kiriku, untuk membantuku turun dari sepeda motornya.

Walau sebenarnya aku tidak perlu bantuannya. Dilihat dari celana jeans, kaos, kardigan, sepatu dan juga rambut yang terikat tinggi. Setidaknya itu tidak terlihat menyusahkanku untuk turun dari sepeda motor sport, yang memiliki jok tinggi untuk penumpangnya. Aku melepas helm, dan meletakkannya di salah satu spion. Begitu pula dengan dia. Kami berjalan beriringan ke kasir, untuk memesan makanan, dan langsung membayarnya saat itu juga. Kami pun berjalan ke salah satu bangku di dalamnya yang paling pojok.

“Jadi, kau akan cerita?” tanya Magdum yang membuatku mengerutkan dahi. Bingung. Kemana jalannya pertanyaan itu.

“Cerita apa?” gumamku.

“Ya... aku melihatmu murung saat pulang. Dan mengapa kamu masuk lagi ke kampus?” Dia menggerak-gerakkan botol sambal sambil mengangkat sebelah alisnya.

Aku tergugup. Ku kira dia sudah pulang terlebih dahulu waktu itu. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Aku mengangkat kedua bahuku. “Tidak ada apa-apa. Silvi memanggilku, mengingatkanku, karena ada tugas dari guru yang tertinggal. Dan ya... begitulah.” Bagus. Aku sama sekali tidak pandai dalam berbohong, terlebih kepada Magdum dan juga Kak Refi. Dibandingkan Kak Refi, Magdum jauh lebih peka dengan segala hal tentangku.

Dia memicingkan matanya, namun tidak mengatakan apapun. Aku berusaha untuk tidak menggigit bibir bawahku. Magdum akan menyadarinya jika aku melakukan itu. Dan aku akan berakhir dengan introgasinya yang panjang. Pesanan kami datang, tak lama kemudian. Sepiring nasi goreng, dan satu es jeruk untukku. Dan sepiring nasi goreng, dan teh hangat untuk Magdum. Kami makan dalam diam. Sesekali kami mengobrol, tentang film garapan Magdum bersama teman-temannya. Sebenarnya, Magdum ada janji dengan mereka setelah mengantarku pulang. Dan hal itu membuatku untuk memanfaatkan janji itu, untuk segera pulang. Dan untungnya, Magdum sama sekali tidak merasa curiga akan hal itu. Tepat setelah makanan kami habis, aku segera mengajak Magdum untuk segera mengantarku pulang.

Aku mengenakan helm yang dia berikan. “Terima kasih Magdum.”

“Sama-sama... kalau ada acara lagi, dan sesuatu yang menghebohkan lagi, pasti aku traktir lagi deh.” Dia tersenyum hangat.

Aku tersenyum menanggapinya.  “Kalau begitu ayo antar aku pulang, aku tidak mau bangun kesiangan dan terlambat.”

Dia mengangkat kedua telapak tangannya. “Oke-oke...” Dan kembali membantuku naik ke atas sepeda motornya.

Selama perjalanan menuju rumah, pikiranku kembali melayang kepada Pak Galang. Aku mengingat kembali tatapan matanya yang begitu mengintimidasi, suaranya yang berat dan juga serak kasar. Semua pesona seluruhnya terlihat ada dalam diri Pak Galang. Namun, dia seperti tidak ingin tersentuh oleh siapapun. Dan aku teringat salah satu kakinya yang pincang. Apa yang membuat kakinya menjadi seperti itu? Sehingga satu hal itulah yang membuat Pak Galang terlihat minus. Terlihat kurang, dan membuat orang-orang yang melihatnya sama sekali tidak melihat hal lain yang dimiliki Pak Galang selain kecacatan itu.

“Kamu nggak mau turun, tuan putri?” Suara Magdum menyadarkanku dari lamunanku tentang Pak Galang. Dan aku memerah. Mengapa aku harus memikirkan orang itu. Menyebalkan. Aku merengut, dan turun dari atas sepeda motornya. Magdum melepaskan helm yang ku pakai. Dia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya, mencium keningku, lama. Aku terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini.

“Jangan memanggilku begitu. Kayak anak kecil aja...” Aku memprotesnya, namun Magdum hanya tertawa kecil. Menyebalkan. 

“Oke... kalau begitu sampai jumpa besok di kampus, tuan putri...” Dia melepaskan helm ku, dan mengacak-acak rambutku. Magdum segera menancap gas, meninggalkanku di depan rumah dengan rasa kesal. Dia selalu saja bisa membuatku merasa kesal. Lihat saja, akan ku buat dia, jauh lebih kesal lagi nantinya. Aku menghela napas, dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sepeda motor Kak Refi terparkir, tepat di samping sepeda motorku. Dan aku yakin, kalau Kak Refi sudah tertidur. Dia pasti kelelahan.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Where stories live. Discover now