20

115 9 0
                                    

“Aku akan mencoba mencari tahu, Lily... setidaknya, pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh wanita itu,” ucap Pak Galang yang mencoba meyakinkanku sejak tadi. Aku hanya terdiam, dan mencoba untuk mengerti akan semua hal ini. Silvi di izinkan untuk pulang, karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk ikut kelas hari ini. Dan aku, masih terjebak bersama Pak Galang di ruangannya.

“Galang... aku hanya tidak habis pikir. Silvi tidak punya musuh, bahkan dia terlalu polos untuk memiliki musuh diluar sana...” jawabku sambil merasakan pelukannya yang semakin erat. Dan aku menikmatinya.

“Aku akan mencoba meminta tolong pada temanku, dia ahli dalam melakukan investigasi... kamu tenang saja. Setidaknya, kita punya solusi untuk ini, oke?!”  Aku menganggukkan kepalaku perlahan. Pak Galang mulai mengusap perlahan rambutku.

Dan aku tahu bahwa rasanya masih saja tidak sama. Aku merasa kurang lengkap. Meski ada Pak Galang dan juga Kak Refi, aku masih merasakan ada lubang menganga yang besar di dalam diriku. Magdum. Aku menutup kedua mataku dan menghela napas. Ya, rasa yang tidak lengkap itu datang dari Magdum, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa menghubunginya lagi. Tapi, mungkin saja, aku bisa menemuinya di rumahnya. Aku mendudukan tubuhku hingga terlepas dari pelukan Pak Galang. Dia menatapku dengan kerutan di dahinya. “Ada apa Lily?” tanyanya, dan aku menatapnya.

“Aku... ingin pulang...” jawabku sambil berulang kali berkedip, dan menggigit bibir bawahku. Astaga. Aku tidak pandai berbohong. Dia menatapku dengan dalam, dan aku tahu dia merasa tidak percaya padaku, tapi aku tidak tahu lagi harus bagaimana lagi.

“Baiklah... kamu juga perlu istirahat. Jangan lupa Lily, jika ada sesuatu yang membuatmu takut, setidaknya hubungi aku, mengerti?! Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu,” ucapnya sambil berdiri dan menggenggam tanganku untuk ikut berdiri di sampingnya. Aku menganggukkan kepalaku perlahan. “Aku akan mengantarkanmu ke parkiran. Ayo...” Kami berjalan bersama menuju parkiran sepeda motor. Dan selama itu pula, kedua mataku berkeliling mencari Magdum. Tapi nihil, dia tidak ada. Mungkinkah dia ada di rumah, dan tidak masuk ke kampus. Ini semua karenaku. Andai saja, aku menjelaskan semuanya dari awal, mungkin saja dia tidak akan merasa begitu sakit hatinya kepadaku.

“Jangan mengebut Lily...” ucap Pak Galang yang menyadarkanku dari lamunan. Dan aku tersenyum ke arahnya. Sedikit menjijit untuk bisa mencium pipi kirinya, dan membuatku memerah seketika, saat dia ikut membalasnya secara bersamaan di pipi kiriku. Aku menggigit bibir bawahku perlahan, dan menunduk. Menggenggam kemejanya untuk menyembunyikan rasa maluku. Dia terkekeh, dan mengusap rambutku.

“Aku pulang dulu...” ucapku lirih, melepaskan genggamanku pada kemejanya. Dan menaiki sepeda motorku. Aku mendengarnya bergumam hati – hati, dan aku mengangguk saja. Aku melambaikan tanganku ke arahnya, dan segera berlalu dari sana.

Yang menjadi tujuan utamaku saat ini adalah menemui Magdum, entah dia ada dimana saat ini. Dia hancur, dan aku tahu akan hal itu. Terlebih akulah penyebab utamanya. Aku akan mendatanginya ke cafe, tempat dimana aku, Magdum dan Silvi sering pergi. Dan ku harap, aku bisa menemukannya disana. Setidaknya, untuk bisa mencoba menjalin lagi persahabatan kami. Sesampainya disana, aku segera memarkirkan sepeda motorku dan masuk ke dalam cafe yang ada di daerah perbukitan Malang. Berkeliling sejenak, dan megedarkan pandangan, namun lagi-lagi aku hanya menemukan kenihilan disana. Aku keluar dari cafe, dan menemukan Tito sedang bersandar di tembok cafe, dia adalah salah satu sahabat Magdum di akun Youtube-nya. Dan dia menyadari akan kehadiranku.

“Tito... untung saja aku menemukanmu disini...” ucapku sambil berjalan mendekatinya. Setidaknya ada setitik harapan untuk bisa menemui Magdum saat ini.

“Eh, Lily... ada apa? Tumben kesini sendirian... biasanya juga sama Silvi,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

“Aku ingin tahu, apa kamu bertemu Magdum hari ini?” tanyaku dengan tidak sabar.

“Magdum? Aku tidak melihatnya sejak dua atau tiga hari yang lalu,” jawabnya yang membuatkan menghela napas lelah dan kehilangan semangat seketika. “Tapi mungkin dia ada di rumahnya. Setahuku, dia sering membantu keluarganya bukan?! Coba kamu cari saja dia disana...” lanjutnya yang membuatku tersenyum kecil.

“Oke, terima kasih ya... aku duluan.” Aku segera berlalu, dan mengendarai motorku dengan kecepatan sedang. Jika aku tidak menemukannya disana, maka, aku akan segera pulang, dan membiarkan waktu untuk bisa menyelesaikan masalah yang kini sedang terjadi padaku.

Saat aku hampir sampai di dekat rumah Magdum, aku tidak melihat adanya sepeda motor miliknya di depan rumah. Aku menangis. Astaga. Sial. Aku menggigit bibir bawahku perlahan, dan menghapus jejak air mata di kedua pipiku. Berjalan kembali meninggalkan tempat itu. Dan, sepertinya, aku memang harus membiarkan Magdum untuk berpikir dalam waktu yang lebih lama lagi. Meski ingin segera menyelesaikan semuanya, nyatanya aku juga tidak tahu bagaimana caranya.

Saat aku mulai dekat dengan rumah, aku bisa melihat Kak Refi yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah cemas, hingga saat aku masuk ke dalam pekarangan rumah. Dia berjalan mendekatiku, dan menggenggam lenganku. Membawaku masuk ke dalam rumah. “Kamu dari mana saja? Galang memberitahuku jika kamu sudah pulang... dan saat aku sampai di rumah, kamu tidak ada. Dari mana saja kamu, hah?!” tanyanya yang membuatku terdiam. Dan aku baru sadar, jika aku belum menghubungi Kak Refi.

Aku mendongak dan menatapnya. “Aku mencari Magdum...” jawabku yang membuat Kak Refi mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Dahinya berkenyit dalam, dan dia melepaskan genggamannya dariku.

“Magdum? Aku baru saja melihat dia melintas... tapi dia tidak mampir kesini,” ucap Kak Refi yang membuatku terdiam. Magdum baru saja lewat di dekat rumah? Tapi aku tidak melihatnya. Usapan di rambutku, membuatku tersentak. Aku menggigit bibir bawahku, lagi. “Jangan di pikirkan dulu, oke?! Magdum butuh waktu lebih dari yang kamu bayangkan Lily... dia butuh untuk berpikir panjang tentang keputusanmu yang membuatnya sakit hati...” lanjutnya.

Aku mengangguk, dan mecoba untuk tersenyum kecil. “Aku ingin istirahat...” gumamku sambil berjalan melewati Kak Refi. Aku melangkah perlahan menuju kamarku. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kii ku rasakan. Aku kesepian. Magdum sama sekali tidak mau menemui, berbicara atau melakukan hal lainnya seperti yang biasa kami lakukan bersama. Aku membuka pintu kamar dan langsung menguncinya. Mejatuhkan tas ke atas lantai, lalu berjalan mendekati ranjang dan menjatuhkan diriku di atasnya. Tertelungkup sambil memejamkan kedua mataku.

Mengingat-ingat kembali kenanganku dengan Magdum saat hubungan persahabatan kami masih baik-baik saja. Pertemuan pertama kami saat di kampus, pernyataan cintanya pertama kali padaku, dan berlanjut dengan kesenangan-kesenangan kami yang lain. Aku mengingat semuanya, seakan aku memiliki file film ku sendiri. Dan aku sangat merindukan hal itu. Semakin lama, aku semakin terhanyut di dalamnya, bahkan aku masih saja terus mengingatnya, meski tanpa sadar air mataku mulai jatuh kembali. Aku sangat menyayangi Magdum. Hanya saja, itu sebatas persahabatan kami saja. Tapi, kenapa semua ini harus terjadi?

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Onde histórias criam vida. Descubra agora