25

92 9 0
                                    

“Silvi...” Aku menggoyangkan perlahan lengan Silvi yang sejak tadi sama sekali tidak bisa fokus dengan pelajaran yang diberikan Pak Dosen. Dan dia terlihat terjingkat, kaget.

“Apa?” Dia berbisik, bertanya ke arahku.

“Jangan melamun... sejak tadi kau hanya melamun terus. Apa yang terjadi padamu, hmm??” Aku bertanya, masih sambil berbisik. Mencatat beberapa poin pelajaran yang di tulis di papan tulis oleh dosen itu.

“Aku... hanya masih merasa takut,” jawab Silvi, dan aku melirik kecil ke arahnya. Dan raut wajahnya yang terlihat khawatir, penuh ketakutan. “Maksudnya... aku takut jika dia datang lagi dan menggangguku.” Dia berbisik lagi.

Aku berhenti menulis, dan mulai menggenggam telapak tangannya yang terasa dingin. Aku menatap ke arahnya, dan Silvi mulai terisak kecil. Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali. “Jangan menangis...” Aku menghapus jejak-jejak air matanya yang jatuh di kedua pipi tembamnya.

“Jangan takut lagi. Aku, Galang, Kak Refi dan juga Magdum, akan menyelesaikan masalah ini, dengan segera. Lagi pula kamu jangan takut lagi. Peneror itu hanya mengganggumu, untuk mencelakanku.” Dan aku sadar, jika aku juga perlu mengatakan semua yang terjadi kemarin. Dan Silvi terlihat terkejut dengan apa yang ku katakan. Aku mencoba tersenyum, meski aku juga merasa ketakutan dan cemas, jika tiba-tiba kejadian buruk atau apapun terjadi.

“Maksudmu? Kau di incar?? Bagaimana mungkin?” Silvi bertanya, dengan raut wajah yang semakin terlihat khawatir.

“Baiklah... kalian catat semua, dan jangan lupa tugas di kumpulkan segera mungkin, untuk mendapat nilai yang bagus.” Suara Pak Dosen itu menginstrupsiku, saat aku akan menjawab Silvi. Dan aku melihat Pak Dosen itu mulai mengemasi barangnya, dan pergi dari ruang kelas.

Lenganku bergoyang kencang, dan Silvi seakan tak sabar dengan jawaban yang belum ku berikan. “Katakan! Katakan kenapa kini kamu yang di incar? Apa yang dia inginkan sebenarnya?”

“Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan...” Aku menghela napas dan melepaskan genggamanku di telapak tangan Silvi. Bersandar pada punggung kursi yang ku duduki. “Aku bahkan tidak tahu, perilaku apa yang telah ku lakukan, hingga membuat dia begitu... jahat.”

“Lalu, apa sudah ditemukan tentang identitasnya? Nama atau ciri – cirinya mungkin?” Silvi kembali bertanya.

“Tidak... belum ada. Tapi Galang kemarin mendapat info jika temannya, memberi informasi bahwa peneror itu sudah menemukan rumahku. Dia melewati rumahku. Dan aku tidak tahu seperti apa dia.” Aku mengingat-ingat yang dengan jelas di katakan oleh Galang kemarin.

“Kalau begitu... ayo kita ke ruang Pak Galang...” ucap Silvi sambil memasukkan barang-barangnya dengan kasar, dan menarik lenganku. Kami berjalan dengan cepat.

“Untuk apa?” Aku bertanya dengan napas yang mulai terengah. Langkah kami terhenti dan Silvi dengan cepat membuka pintu ruangan Galang, tanpa bisa ku cegah.
Saat pintu ruang itu terbuka, aku melihat Galang dan tiga orang pria berpakaian serba hitam membicarakan sesuatu yang cukup serius, sepertinya. Galang sendiri terlihat terkejut dengan kedatangan kami. Aku tersenyum malu dan melirik kecil ke arah Silvi yang tersenyum canggung. Dan aku sekali lagi melihat ke arah Galang yang tersenyum memaklumi.

“Lily... Silvi... ayo masuk.” Galang bangkit dari duduknya dan berkata dengan suara beratnya.

Kami masuk bersama. Dan tiga orang pria berbaju hitam itu menatap kami dengan datar. Galang mendekati kami, dan mencium pelipisku. Tiga pria itu mulai bangkit, dan salah satu di antara mereka berbicara. “Kami akan melakukan tugas dengan baik,  bahkan dengan nyawa kami sendiri, Tuan Galang. Anda tidak perlu merasa khawatir lagi. Kami permisi dulu...” Mereka mulai beranjak, namun salah satu di antara mereka seakan termenung, dan menatap ke arah Silvi.

“Bayu... apa yang kau tunggu?” Galang bertanya dengan nada tegasnya, tanpa melepaskan pelukannya dariku. Membuat pria yang tadi termenung seakan tersadar.

“Maaf Tuan Galang. Saya permisi...” ujar pria yang bernama Bayu itu, dan dengan langkah panjang dia meninggalkan ruangan itu, dan tepat di ujung pintu ruangan yang akan tertutup, aku bisa melihat dia mengintip sejenak dan memandang Silvi lagi. Hingga pintu ruang itu pun tertutup.

“Ya... sepertinya pria itu tertarik denganmu, Silvi.” Aku memandang Silvi dengan senyum jahilku. Dan ya, aku tidak pernah salah menilai tatapan seseorang, kecuali Galang tentunya. Aku masih sangat sulit untuk membacanya.

“Apa?! Jangan gila! Mana ada yang mau denganku!” Silvi menjawabku dengan suara yang cukup keras. Sepertinya dia juga merasakan apa yang ku katakan itu, benar. Wajahnya memerah, namun ada senyuman di balik itu.

“Sepertinya aku harus mengenalkan Bayu dan juga Silvi setelah tugas Bayu selesai.” Galang bergumam di telinga kananku. Aku menolehkan kepalaku dan menatap ke arahnya, yang melirik ke arah Silvi yang masih saja tersipu.

“Itu bagus... setidaknya, dia tidak lagi jomblo dan menjadi obat nyamuk, saat kita berdua. Benarkan?” Aku juga ikut tersenyum, dan menyandarkan kepalaku di dada bidang Galang.

“Aduh! Sampai lupa, kan?!” Silvi berkata cukup keras, membuatku terkejut karenanya. Wajahnya mulai menatap serius ke arah Galang dan juga aku. “Jadi, aku ingin tahu apa benar jika Lily menjadi target orang gila itu. Untuk apa?”

“Ya... itu benar, Silvi. Orang gila itu terlihat begitu menginginkan Lily, saat ini.” Galang menjawab dengan nada yang tak kalah serius.

Silvi membuka mulutnya dengan lebar, dan genggaman tanganku di jas milik Galang semakin mengerat. Dahinya mengerut dalam. Matanya menatap tak percaya. “Tapi kenapa? Apa yang dia inginkan dari Lily?”

Dia menginginkan Lily... dan mengambilnya dariku.” Aku menatap langsung ke arah Galang yang menunjukkan wajahnya yang tertekan. Dan aku tak percaya ini.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Where stories live. Discover now