prólogos

167 31 28
                                    

Sosok wanodya di tepi dalu tengah bersenda gurau barinan lara-pala. Saling lempar batuan kelakar. Laksita anggun disorot rembulan kala nagara maju terlelap. Sedang asta kirinya menjinjing kantong berisi barang berutas-utas terbuat dari sabut kelapa serta sebotol larutan yang diseruput bila tandus menyerang, tak lupa sebungkus cemilan kering yang digerogoti kala jenggama bertambah suwung. Mujur, kelontongan itu tak pernah menutup papan dari pagi bertemu pagi lagi.

Rumah mungil beralas tikar hingga bangunan tembok pencakar langit saling bersinar dalam gulita. Menyinari tuan dan nona muda di kedai buah sedang melabuhkan ciuman pada baris pendhem. Di paling sudut hinggap sebuah gubuk, berisikan insan-insan mabuk. Berjalan bak kepiting rebus yang enggan dilahap insan pendekap bandha. Sesekali menawarkan sebotol wine kepada arwah-arwah di sepanjang jalan. Seterusnya dilakukan hingga memijak serambi panti yang hangat disapa family.

Eirene bergerak maju ke arah halte bus, rayuan anila tak dapat menggubris netranya yang hampa. Nalar turut serta karut-marut. Kepulangan pada pura telah dihempas. Rumah tak lagi menjadi angannya merebah, seperti di negeri dongeng. Kasak-kusuk mager sari terdengar hingga ujung samudra. Menebar pergunjingan di taman nirwananya. Usik menulusuk lakuna hidupnya yang tak kunjung hura-hura. Sunyi setia menemani sampai-sampai tak ingin pergi, pula tak sudi berganti peran dengan ramai.

Eirene, terusik. Ia merangkap dalam pesakitan tak berkesudahan. Mencari lakuna lain tuk gapai cahaya Tuhan. Candra hanyut semakin jauh. Meninggalkan gugusan planet yang menjadi pegangan dalam astrologi penentu nasib insan-insan di bumi. Eirene tak seperti insan lain, ia tak terbagi dalam lingkaran khayal di langit yang berpusat di ekliptika dan dibagi menjadi dua belas. Tak dapat memberi tangannya tuk diramal.

Sesekali kendaraan bermesin melaju, membuat getaran pada tapak kaki Eirene yang tengah meletakkan tubuh di bangku panjang. Ia menyepi, tetapi ditemani bayangan pincang yang tersorot lampu jalanan. Angin silih berganti. Ada yang hadir menerpa anak rambut, pula yang hadir hingga tubuh terhuyung.

Pukul sebelas malam, bus menepi. Mempersilakan Eirene masuk dalam wadah berbentuk persegi panjang. Hanya tersisa dua pemuda di kursi belakang tengah mengisap tembakau. Bersama dalam satu wadah, tetapi terfokus pada cabang nalar sendiri. Eirene memilih kursi bagian kiri dari belakang raga pengemudi. Ia menormalisasikan pandangan. Netranya tertuju pada kunang-kunang di pusat kota. Menjadikannya tenang dan bulir pesakitan di pelupuk mata gersang. Seperti pada beberapa tahun lalu, ia menginginkan boneka beruang sederhana untuk dibawa pulang kala festival budaya. Di mana anak seusianya mendapatkan apa yang mereka tunjuk, tetapi tidak dengan Eirene. Ia tidak dibekali koin-koin bernilai dan hanya mampu menikmati kunang-kunang di pusat kota di balik kaca bus.

Kakinya kembali menjejaki jalan setapak. Memasuki kawasan kumuh. Di mana raga saling berimpitan. Kalambi tertukar. Caci maki tersiar amat jernih. Lelaki tambun berkumpul kala garini bermimpi. Seorang di antaranya menceraikan remi serta merapikan segepok cuan. Terbahak-bahak pada kejayaan dan mengganas pada kejatuhan---sebab harus merelakan lembaran lusuh berganti kepemilikan dan foya-foya hilang dari ingatan.

Gubuk kepulangan bak tuna rupa, pondasi entah terpental ke mana. Tulang rusuk berganti peran menjadi nakhoda, melanjutkan garis peta, dan berlayar membawa derita. Nyatanya, sang nakhoda lama menemukan bahtera anyar. Berlayar pada lingkaran hitam. Menjadikan rusuk murka saban harinya. Namun, cintanya tak terjerumus pada segitiga muda, tetapi sudah enggan dibalas.

Eirene membuka kenop pintu diiringi dentuman sunyi. Berjalan jinjit melewati biyang yang tengah bermimpi, sedang televisi bermain siaran. Lamat-lamat diresapi lelah yang tak usai merias rupanya. Eirene mencium puncak kepala sang biyang sembari berbisik. Lalu meringis. Mempercepat langkah menuju bilik kusam tempat ia mengadu nasib.

Gadis jelita itu membuka bingkisan yang tadi ia beli. Barang yang terbuat dari sabut kelapa itu amat panjang, sempurna bila sesuatu dipajang bersamanya. Sembari meringis, ia menggerogoti cemilan berbentuk bulat yang baunya sedikit menyengat. Kini tandus memanggil, segera ia menyeruput larutan semacam susu yang baru saja diperah. Sebelum kantuk menyerang, Eirene memasang untaian sabut kelapa di langit-langit kamar pada kotak penyimpanan lampu.

Eirene terlelap.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang