T D A | 7

146 49 18
                                    

Hai semuanya

Jam segini ada yang baca ga ya? Hari minggu di temani dengan Antartika.

Padahal belum tembus, tapi udah up? Aku semangat banget buat up soalnya. Anggap saja ini bonus!

Aku ga pernah bosen buat ngingetin kalian untuk komen cerita aku saat membaca, dan vote cerita aku saat selesai membaca.

Notif masuk dari kalian itu suatu bagian dari semangat bagi aku. Aku selalu semangat buat nulis kalau tiap hari notif dari kalian masuk💙

Happy reading....

7. Yang membunuh?

Rara berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya. Sebelumnya Rara di hukum membersihkan semua toilet sekolah bersama sahabatnya karna sudah membocori ban motor milik Pak Kumis.

Rara melihat parkiran murid yang sudah sepi, sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu karna Rara mengerjakan tugas dahulu di sekolah, Rara selalu mager kalau mengerjakan pekerjaan rumah di rumah. Rara menaiki motornya dan menyalakan bersiap untuk berangkat. Dia angkat helm yang bergambar hello kitty dan lalu memakainya.

Rara menjalankan motornya dengan kecepatan luar biasa normal. Hanya perlu 15 menit di perjalanan Rara sudah sampai. Rara mematikan motor matic nya, dia melepas helm bergambar hello kitty dan berwarna pink itu, Rara turun dari motornya.

Rara berjalan menuju pintu utama. Baru masuk dia langsung mencari bundanya. Rara berjalan ke dapur, dan ternyata bundanya memang di dapur. Nara sedang memasak untuk Rara.

Rara memeluk Nara dari belakang, dia lingkari tangan di pinggang Nara. "Kangen, hehe."

Nara terkekeh. Rara ini sangat menggemaskan. "Ara, Bunda masak nasi goreng kesukaan Ara. Kita makan bareng, ya?"

Rara mengangguk, dia melepaskan pelukannya. Rara berjalan ke arah meja makan. 10 tahun yang lalu meja makan ini di isi 3 orang, candaan setiap menunggu makanan matang tidak terlewat. Rasanya hampa kehilangan satu orang paling di sayang, orang paling berharga, dan orang yang sangat di idolakan olehnya pergi ah ralat menghilang begitu saja, tidak mudah mengikhlaskan ketika kehilangan.

Rara duduk dengan manis di kursi yang berwarna abu-abu. Dulu kursi ini yang selalu di sebut kursi Sang Putri oleh Sang Ayah. Rara tidak pernah lupa dengan kata-kata yang membuat dia bahagia oleh ayahnya, lelaki pertama yang mengerti dirinya.

Rasanya sakit ketika mengingat semua itu, dia sadar semua tidak akan sama lagi, Rara berusaha bahagia walau tanpa ayahnya. Rara masih memiliki bundanya yang berusaha ada buat dirinya, walau nyatanya Nara kewalahan ngehandle semuanya, Rara terabaikan, dia merasa kasih sayang yang Nara kasih itu kurang. Tapi Rara tidak ingin membebani Nara, dia berusaha untuk bisa sendiri.

Nara berjalan kearah Rara tepatnya meja makan, di tangan Nara ada dua piring yang berisi nasi goreng. Rara melirik nasi goreng itu, sangat menggiur. Dia tersenyum senang.

Sebelum memakannya Rara berdo'a terlebih dahulu, dia memasukan satu suapan pertama, rasa gurih yang di sebabkan bumbu campuran itu terasa oleh lidahnya. "Enak Bund, masakan Bunda emang gaada tandingan nya, hehe," puji Rara sesuai kenyataan.

Nara tersenyum. "Habisin ya Ara. Bunda habis maghrib mau ke Toko lagi, kamu di sini sama Bibi dan Mang Jajang gapapa, kan?"

Rara berhenti mengunyah, ada rasa sedih yang bergelantung di hatinya. Dia jarang sekali berdua dengan bundanya, kenapa saat seperti ini Toko yang di utamakan?

Rara berusaha kuat, ini sudah biasa bukan? Mengapa dia harus sedih, semua ini demi dirinya. "Iya Bund, Bunda hati-hati." Rara tersenyum. Senyuman yang setiap hari tidak pernah luntur, senyuman yang orang lain tau tidak pernah tergantikan oleh kesedihan, dan senyuman yang orang lain tau senyuman yang sangat bahagia, sampai yang melihat ikut bahagia.

The Devil Antartika [END]Where stories live. Discover now