Part 21 : Konsultasi

135 29 1
                                    

Malam hari tiba, Fajri sedang mondar-mandir di kamarnya sendiri. Haruskah ia mengatakan pada Fajar sekarang juga? Fajri sangat takut jika Fajar semakin membencinya, dan usahanya untuk dekat dengan Fajar hilang begitu saja.

"Ngomong sekarang gak yah?"

"Bang Fajar udah tidur belum yah?"

"Kalo gue ngomong sekarang Bang Fajar keganggu gak yah?"

"Anjir gue bingung!"

"Ck! Gue kek banci, gini doang takut!"

Fajri masih mondar-mandir di kamarnya, sambil mengetuk-ngetuk dahinya, berharap mendapatkan ide baru, nyatanya ia malah semakin bingung.

"Ah! Gas terus lah!" pasrah Fajri akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar Fajar dengan perasaan yang tak biasa.

Sesampainya di depan kamar Fajar, ia berdiri memandangi pintu ber cat coklat. Mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan orang yang membencinya.
Meskipun tinggal mengetuk pintu, nyatanya Fajri masih agak gugup, karna sebelumnya ia tidak pernah berbicara dengan Fajar mungkin hanya selintas saja.

"Huh," Fajri membuang nafas kasar, berusaha menetralkan nafasnya.

'Tok!'

'Tok!'

'Tok!'

Tiga kali ketukan, namun tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar, Fajri sempat ingin menyerah dan pergi meninggalkan kamar tersebut. Namun saat ia ingin mengambil langkah pertamanya terdengar suara Fajar menjawab pertanyaannya.

"Ada apa Bik? Masuk aja gak Fajar kunci kok," jawab Fajar yang mengira Fajri adalah membantunya.

Dengan keberanian besar Fajri membuka pintu kamar Fajar. Ia melihat Fajar sedang melihat-lihat album yang penuh dengan foto-foto pemain sepak bola terkenal seperti Lionel Messi,  Cristiano Ronaldo, Lewandowski, Mbappe, De Bruyne, Haaland, Neymar.

Fajar terlihat kaget dengan kedatangan Fajri di kamarnya, tapi dengan secepat mungkin ia mengubah ekspresi kagetnya menjadi biasa saja dan tampak tidak memperdulikan kehadiran Fajri, ia malah fokus ke foto-foto idolanya.

"Bang," panggil Fajri lirih.

Deg!
Ada sesuatu yang mengganjal di hati Fajar saat Fajri memanggilnya dengan sebutan Bang pasalnya ini adalah pertama kalinya Fajri memanggil Fajar dengan sebutan Abang di depannya. Padahal sedaei dulu Fajri memang sudah memanggil Fajar Abang.

Lagi-lagi dan lagi Fajar berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya, dan sama sekali tidak menganggap adanya Fajri.

"Bang," panggil Fajri lagi, karna tidak mendapatkan respon apapun dari Fajar.

Fajar masih enggan menanggapi jawab, ia hanya mendongak menatap Fajri sebagai tanda ia mendengar panggilan Fajri.

"Fajri mau ngomong."

"Apa?"

"Fajri tau kalo Abang maen bola di kampung sana," ungkap Fajri gugub.

Sedangkan Fajar, ia sangat kaget dengan kata-kata yang baru saja di lontarkan Fajri. Ia bertanya-tanya dalam hatinya bagaimana Fajri bisa mengetahui hal ini. Mungkinkah Fajri mengikutinya?

"Terus?" tanya Fajar sok bodoamat, padahal dalam lubuk hatinya ia sangat takut jika Fajri sampai melaporkannya.

"Fajri mau ngomong baik baik sama Abang, sebenarnya Fajri gak tega ngelaporin ini sama Mama. Fajri juga gak mau ngerusak kebahagiaan Abang, jadi ayok buat kesepakatan," terang Fajri.

"Kesepakatan?" bingung Fajar.

"Abang pura-pura tertarik aja sama basket biar Mama marah, tapi tenang Fajri gak akan bilang ke Mama kok, Abang tetep bisa main bola," jelas Fajri setulus-tulusnya.

Fajar terlihat berfikir, haruskah ia menyetujui ini? Sebenarnya ia setuju dengan kesepakatan yang dibuat adik kembarannya tersebut, tapi Fajar cukup gengsi mengatakannya.

"Kalo gue gak mau?" tanya Fajar yang sebenarnya hanya ingin tau apa yang di lakukan Fajri jika dirinya tidak mau menyepakati ini.

"Terpaksa Fajri akan laporin ke Mama."

"Oke, apapun demi gue bisa main bola," jawab Fajar santi membalik album yang ia lihat.

"Hah, beneran Abang mau?" heboh Fajri. Ia tidak menyangka bahwa membicarakan ini sangat mudah.

Fajar mengangguk antusias, ia sedikit menarik ujung bibirnya untuk tersenyum. Entah apa itu tapi Fajar merasa senang melihat kembarannya tersebut tersenyum bahagia karna ia memutuskan untuk bermain basket.

Dengan sangat bersemangat Fajri berlari lebih mendekat ke tempat dimana Fajar duduk yaitu di kasur.
Tanpa aba-aba yang jelas Fajri memeluk Fajar dengan erat di lalu berkata dengan nada seseorang yang sangat senang.

"Bang, mulai besok kita latihan di kursus bola basket yah, biar Mama yang daftarin," ucap Fajri masih memeluk Fajar erat.

Sedangkan Fajar bleng, ia kaget dengan pelukan tiba-tiba dari orang yang pernah ia membenci karna orang tuanya lebih menyangi Fajri. Ia kaget tanpa ekspresi. Sebegitu senangnya Fajri melihat dirinya ikut bermain basket?

Melihat tidak ada jawaban apa-apa dari Fajar, Fajri seketika menjadi sadar dan sangat merutuki apa yang barusan ia lakukan. Karna itu dengan spontan Fajri melepaskan pelukanya dan langsung ngecir berlari ke luar dari kamar Fajar. Sangking malunya Fajri sampai lupa menutup pintu kamar Fajar.

"Ck! Malah gak ditutup!" desah Fajar.

"Malu tuh anak pasti," gumam Fajar lagi mengerti apa yang dirasakan adiknya tersebut.

Sedangkan Fajri langsung berlari ke kamarnya, dan menutup pintunya, tapi ia tidak langsung ke kasur melainkan bersandar di balik pintu, berusaha menetralkan deru nafasnya. Ia bukan hanya malu tapi di sertai rasa takut juga. Ia takut jika Fajar semakin membenci dirinya.

Fajri tau jika sejak dulu Fajar tidak menyukai. Tapi apa ini dirinya malah berani memeluk Fajar dengan sangat antusias. Fajri sungguh takut ketakutanya akan menjadi kenyataan, dan semoga saja tidak.

"Kok gue bisa gitu sih! Nampak banget gue seneng latihan bareng dia," beruntung Fajri masih memikirkan hal tadi.

"Entar kalo Bang Fajar jadi berubah pikiran gimana!? Semoga aja engga."

"Hufh! Tenang-tenang, gapapa namanya juga reflek," gumam Fajri menenangkan dirinya sendiri.

Mas F Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt