i n k a . 27

510 97 34
                                    

•••🦋•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••🦋•••

H a p p y  R e a d i n g

"I cacth you!"

Pemuda dengan balutan hoodie abu-abu dan waist bag di dadanya itu tersenyum tipis. Ia melangkah ke pinggir jembatan, mengikuti gadis dengan seragam sekolah yang sudah kumal. Sang gadis menatap bingung wajah asing cowok itu.

Jovan dia terkekeh singkat, "Mau bunuh diri?"

"Nggaklah! Yakali mati disini,"

Jovan menumpu lengannya di pembatas jembatan, saling menautkan jarinya."Gue nggak nyangka dari sekian banyak tempat kenapa harus ketemu lo disini."

Sang gadis menatap derasnya air sungai dibawah jembatan,"takdir."

Keduanya dilanda keheningan, memperhatikan derasnya air dibawah jembatan yang mereka pijaki. Dibawah langit jingga mereka membisu, hanya terdengar suara arus sungai yang mengalir. Jembatan ini jarang dilalui karena konon katanya pernah ada gadis hamil di luar nikah bunuh diri disini. "Lo nggak tau cerita tentang jembatan ini?"

Inka mengangguk, "Tau tapi gue bukan cewek penakut!"

Jovan bertepuk tangan dua kali,"Wuih keren!"

"Lo juga kenapa disini?"

"Lewat aja sih,terus liat cewek yang mukanya penuh beban, gue samperin lah. Entar budir kan bahaya."

"Gue nggak sepicik itu!"

"Pemikiran yang bagus,"

Keduanya terdiam lagi, sebelum ponsel Jovan berdering memecah keheningan. "Hm?" Jovan menjawab panggilan itu.

"Otw."

Memasukkan ponsel ke tasnya, Jovan menatap khawatir Inka. "Ayo ikut gue! Udah mau gelap, entar kalau gue tinggal lo lompat lagi."

Inka menepis tangan cowok itu yang bertengger di lengannya, "Apa sih? Kalau mau pergi ya pergi aja nggak usah narik gue!"

"Diem gue anter pulang!"

"Nggak usah maksa ya?!"

"Gue nggak maksa, gue cuma mau anter lo pulang!"

Inka tertawa kecil, bisa-bisanya cowok ini. Baru dua kali ketemu aja udah kek gini, emang nggak jelas."Nggak butuh! Gue bisa pulang sendiri!"

"Ternyata lo keras kepala ya?!"tanyanya sarkas.

"Bukan urusan lo!"

Setelah berkata demikian ia memasuki taksi yang baru saja lewat, meninggalkan Jovan yang terbengong. "Aelah! Jadi marah kan?!" Jovan merutuki kebodohannya sendiri.

•••

Inka berjalan pelan menelusuri koridor rumah sakit tempat ibunya dulu dirawat. Ia hendak bertemu Aunty Bella. Ia ingin menanyakan kabar tentang mamanya. Tetapi kata asisten dokter spesialis jantung itu mengejutkan Inka.

"Dokter Bella sedang ke Amerika, operasi donor jantung Ny. Alera Algantara."

Haruskah Inka senang atau sedih? Senang mamanya akan segera sembuh dan sedih jika operasi itu gagal, dan lagi ia kecewa kenapa dirinya tak diberi tahu perihal operasi penting yang akan di jalankan mamanya.

"Kalau boleh tau operasinya kapan ya, sus?

"Tanggal 9 September besok!"

"Terima kasih atas informasinya,"

Dengan perasaan kalut Inka menekan tombol panggilan ke nomor kakaknya. Jadi ke Amerika mereka untuk operasi mama bukan bisnis, sungguh mereka berdua berjalan terlalu jauh hingga Inka tak bisa menduga-duga.

"Angkat kak,"lirihnya duduk di bangku depan ruangan Bella.

Mencoba menelepon berkali-kali tak kunjung di angkat. Inka mau menghubungi Mahesa, tetapi ia terlalu takut. Tak menyerah ia menghubungi nomor kakaknya lagi. Hingga panggilan yang ke berapa, akhirnya dari seberang terdengar suara Davian yang terdengar lelah.

"Hallo kak!"

"Kenapa tumben mau telepon duluan?" Davian disana tertawa kecil, sedikit lucu saat tau Inka mau menelepon dirinya duluan.

"Kak! Kakak jahat! Kakak sama Papa jahat bawa mama ke Amerika tanpa sepengetahuan Inka." Davian menegang mendengar suara Inka yang mulai menangis dibalik telepon. Jadi Inka sudah tau?

"Bukan gitu, ini---"

Inka berteriak kesal, dirinya merasa tak di hargai. Keberangkatan mamanya yang menjalani operasi ia kira menghilang entah kemana dirinya ternyata semudah itu dibohongi. "Apa? Kakak mau rahasiain operasi mama kan?"

Terdengar hela nafas berat di seberang,"Sorry! Bukan gitu maksud kakak, ini juga demi kesembuhan mama, tolong kamu ngerti,"

"Kak aku mau kesana!"ucapnya mutlak dengan sisa air mata yang membuat suaranya terdengar sumbang.

"Iya Kakak bilang sama Paman Edo. Kamu kesini sama dia, nggak ada bantahan. Tunggu dirumah, jangan sakitin diri lagi! Don't cry baby!"

"Kak, boleh lihat mama sebentar?"suara sumbang gadis itu menyeruak di indra pendengaran Davian. Masih dengan sisa sesegukan ia meminta yang terdengar seperti permohonan.

Dengan tak tega, Davian menjawab."Belum waktunya, sabar oke jangan sedih."

"Kak!"

"Hm?"

"Papa gimana?"tanyanya ragu.

Davian terdiam sebentar, disana ia menoleh menatap papanya yang menunduk didepan selasar tempat tunggu ruang ICU dengan pandangan kosong, "Papa disini baik-baik aja, jangan marah sama Papa. Papa juga takut dan khawatir sama Mama,"

Mendengar jawaban kakaknya entah mengapa ia merasa lega, tetapi sejak kapan papa sepeduli itu dengan mama? Inka akan mencari jawabannya nanti. Ternyata Mahesa yang ia anggap papa yang tak punya rasa kemanusiaan, masih memiliki secuil hati penuh kepedulian. "Kak jaga mama sampai Inka datang. Inka tutup dulu,"

"Oke, sampai nanti my little Inka."

Sambungan telepon terputus.

💥💥💥

Mahesa nggak sejahat itu ternyata gengz!!😎😎

# I N K A #
See you ♡

☘LUKA YANG BERAKHIR DUKA☘

INKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang