i n k a . 22

644 127 42
                                    

•••🦋•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••🦋•••

H a p p y R e a d i n g

"Kenapa kesini? Tuh, mantan lo tatapannya sadis, kek mau bunuh gue."

Inka mengambil sekotak susu stroberi kemudian mengambilkan kopi cup dua gelas ke cowok itu. Alan menerima uluran kopinya, kemudian mengekor ceweknya yang mengambil permen kaki dari toples Bu kantin. "Biarin aja sih,"gumannya pelan. Alan mendekatkan hidungnya ke belakang rambut Inka yang mengantri untuk membayar.

"Ih apaan sih, jauh-jauh sana!"

Alan mundur kebelakang ketika tangan pacarnya mendorong ia menjauh. "Cuma mau cium rambut, rambut lo wangi bikin candu soalnya."

Jemari lentik itu mencubit pinggang berotot Alan. "Astaga mesum!"

"Ehkm.."dehem ibu kantin mengalihkan antensi remaja itu.

"Eh berapa, Bu?"tanya Inka saat giliran antriannya.

"Lima ribu."

"Sekalian punya saya bu, nih uangnya."

Alan menyondorkan uang dua puluh ribu. Menarik tangan Inka yang mencoba menghindari dirinya. Membawa cewek itu menjauh dari antrian. Sepagi ini kantin masih terbilang cukup lengang. "Marah ya?"

Inka tertawa canggung, "marah? jelas lah!"

Alan malah panik sendiri,"bentar marahnya di pending dulu,oke!"

"Nggak bisa!"

Dengan sabar cowok itu mendorong bahu Inka menggunakan tangan kirinya, tangan kanannya saja masih memegangi dua gelas kopi. Melewati pintu samping Alan berganti merangkulkan tangan kirinya di bahu pacarnya yang terasa sangat pas dengan dirinya. "Ngapain rangkul-rangkul?"juteknya.

"Sama pacar sendiri ini,"

Berusaha melepas rangkulan Alan di bahunya, Inka melirik tajam cowok itu yang malah tersenyum lebar."Gue marah sama elo,"

"Iya tau kok."senyumnya.

Memutar bola matanya, Inka memilih membuka susu kotaknya menyeruput susu stroberi. "Gak jelas."

"Iya gue juga kangen kok."

Lah kenapa dah cowok satu nih, kerasukan kali ya? "Gila ya?"

"Ahh nggak kok,"

Keduanya sudah sampai taman belakang perpustakaan. Emang kantin itu bersebelahan sama perpus, jadi surga dunia banget bagi yang pengen bolos. "Lo baik-baik aja kan?"tanya Alan berubah khawatir.

"Menurut lo?"tajamnya sebal.

Alan mendudukkan pacarnya di kursi taman. Ia ikut duduk di sebelahnya. Meraih tangan kiri Inka yang terbebas dari susu kotak, mengelusnya pelan berniat meredakan amarah Inka. "Maaf buat kemarin, gue gak bisa datang. Gimana? Tante Lera udah ketemu?"

Inka menatap tangan kecilnya yang berada dalam genggaman Alan, tatapan cewek itu beralih menatap muka tampan pacarnya. "Belum."

"Kemarin kemana? Udah di chat nggak jawab. Pulang dari rumah sakit nggak bilang-bilang. Dan pagi ini kenapa telpon gue lo matiin?Lo kemana hah?!"lanjutnya memberondong cowok itu dengan pertanyaannya.

Alan yang ditanyai malah terbengong bingung mau menjawab bagaimana. Jujur atau nggak ya? Kalau jujur Inka pasti tambah marah dan kecewa. "Kemarin hape gue mati, kalo soal pulang gak bilang ya buat kejutan hehe, telpon tadi pagi juga nggak sengaja kepencet jadi mati,"alibi cowok itu.

Inka menarik telapak tangannya dari genggaman Alan. "Sorry gue nggak percaya sama buaya."

"Ka..Inka...dengerin gue jangan main pergi."teriak Alan.

Inka berbalik, menatap Alan yang masih duduk di kursi. "Sana masuk kelas!Lanjutin nanti kalo gue mood."tandas cewek itu berlalu meninggalkan Alan.

Alan yakin banget cewek itu kecewa sama dirinya, sebelumnya Inka nggak pernah semarah ini hingga ia berakhir di cuekin cewek itu. Gimana nggak kecewa orang saat Inka butuh bahu Alan,cowok itu malah menghilang. Dirinya memang nggak guna buat jadi pacar Inka.

•••

"Lah napa muka lo babak belur gini?"

Bumi yang ditanya hanya melengos pergi, membuka kulkas dan mengambil coca-cola. Meneguk minuman itu yang terasa menyegarkan saat cuaca panas seperti saat ini. Cowok tinggi dengan rahang tegas itu menaikkan sebelah alisnya bingung saat Bumi memberikan isyarat bertanya kenapa kepadanya saat melihat wajah sayu Alan. Posisinya begini, Alan sedang membuka lalu menutup layar hapenya begitu terus di sofa depan pintu, sedangkan Ervan yang tadi bertanya tentang kondisi muka Bumi sedang membuat mie instan di dapur. Pahamkan?

Ervan yang mengerti hanya terkekeh kecil. "Mumet mikirin camer."

"Sok-sokan njir, kemarin aja ceweknya lagi sedih ditinggal nyamperin mantannya. Pengen gue giles dah tuh human satu,"geram Bumi memicingkan matanya ke arah Alan yang membelakangi mereka berjarak lumayan jauh dari dapur.

"Belum nyerah ya si Naya?"tanya Ervan yang tak tau jika Alan masih nempel sama Naya. Secara ia bukan murid SMA Orion.

"Belum anying, makin hari makin nempel yang ada,"

"Gila, anjenk!"tawa Ervan yang menyedu mie nya, mengaduk-aduk bumbu agar merata.

"Apalagi si onoh, sahabat lo noh nggak bisa bedain mana mantan sama mana pacar."

"Rebut aja lah si Inka, cantik juga euy."saran Ervan menaik-turunkan alisnya.

"Silahkan lo aja, gue nggak dulu."

Belum tau aja dia kalau pawangnya Inka sekejam apa, bisa mati duluan dia kalau mau jadi pacar cewek itu. Double shit, double bogeman dah tuh. "Baru pegang bahu aja udah babak belur gini, apalagi jadi pacarnya,belum juga cium bibir udah sekarat duluan gue kalau ketauan kakaknya"gumam Bumi mengelus perban di pelipisnya yang masih basah.

"Males ah cari sendiri aja lah gue, nggak mau jadi pembinor,"cengengesan Ervan yang mendapat lemparan serbet dari Bumi.

"Wkwkw bener juga nak dakjal."

"Bangsat!"umpat Ervan dikatai anak dakjal.

🌞🌞🌞

# I N K A #

See you ♡

☘LUKA YANG BERAKHIR DUKA☘

INKAWhere stories live. Discover now