23 : Cerita Papa

2.1K 290 63
                                    

Hujan di pagi hari memang membuat siapa saja malas beraktivitas, rasanya menggulung diri menggunakan selimut tebal adalah hal paling nyaman yang bisa di lakukan. Namun Halim hanya bisa pasrah saat Johnny menyeretkan ke toilet untuk mandi kemudian bersiap pergi ke sekolah. Inginnya dia diam saja bersama Yuan, meonton film atau bermain PS seharian di temani cokelat panas. Sayangnya orang tua itu malah mengomel dan mengancam akan menyita motor kesayangan Halim jika dia tidak mau pergi ke sekolah.

Sedangkan adiknya tidak bisa membantu banyak selain memberi semangat untuk Halim. Dia juga tidak mau di omeli Papa di hari yang masih pagi ini. Kemarin sore Yuan sudah di perbolehkan untuk pulang setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit. Tapi Johnny tidak membawa anak-anaknya pulang ke rumah seperti biasa, dia tidak mau mengambil resiko. Jadi untuk sementara waktu Johnny akan tinggal di apartement di pusat kota. Johnny harap dengan dia tinggal di tengah keramaian, hal-hal seperti kemarin bisa sedikit di atasi. Kalau-kalau suruhan Oma kembali berbuat macam-macam gerak gerik mereka akan sangat terbatas mengingat banyaknya orang yang berlalu lalang.

Kondisi Yuan yang belum memungkinkan beraktivitas membuat dia harus rela terkurung di apartement, Johnny tidak mengizinkan dia pergi kemanapun kecuali bersama dia atau Tama. Dia pasti akan menjadi tawanan dalam beberapa hari kedepan. Yuan mengerti, luka di punggungnya sudah menjelaskan betapa tidak amannya dia jika tidak menurut pada Papa. Tidak ingin membuat Johnny naik pitam, Yuan hanya bisa menurut termasuk saat sang Papa berkata tidak akan pergi ke kantor untuk menemaninya. Padahal di sebrang unit nya sudah ada Tama, di pinggir ada Mahesa, di depan unit Mahesa ada Jenan. Dia di kelilingi manusia-manusia psikopat sebenarnya.

"Yuan, mau sarapan di depan Tv atau di meja makan?" Johnny yang berteriak dari dapur mengagetkan Yuan.

"Di sini aja Papa."

Johnny membawa nampan berisi sereal untuk Yuan dan Halim. "Papa mandi dulu, kalo nanti Kakak udah siap suruh sarapan dulu. Kalo masih bandel kamu siram dia pake susu."

Yuan tertawa. "Papa jahat."

Johnny hanya tersenyum kemudian meninggalkan Yuan di ruang Tv. Anak bungsunya masih terlihat sakit, semalam dia kembali demam dan pagi ini wajah Yuan terlihat pucat. Maka dari itu Johnny belum memberikan dia izin untuk pergi ke sekolah. Mungkin saat nanti Dimas memeriksanya kembali, dia akan bertanya apakah Yuan sudah boleh beraktivitas seperti biasa atau belum. Sedikit berlebihan memang, tapi Johnny melakukan ini bukan tanpa alasan. Dia tidak mau melepas anaknya dalam kondisi sakit di saat dalam kondisi sehat saja anak itu sudah dalam kondisi bahaya.

Kepala Yuan menoleh saat dia mendengar suara tas yang di seret. Dia meringis saat melihat merk tas dari brand terkenal di seret begitu saja di lantai. Belum lagi sepatu merk Gucci yang di pakai Halim malah dia injak dengan sesuka hati, bukan di injak seperti biasa, Kakaknya menginjak bagian belakang sepatu itu seperti sedang memakai sendal.

"Pake sepatunya yang bener Kak." Yuan menegur. "Ayo makan, Papa bikin sereal nih."

"Aku gak mau sekolah..." Halim merengek, dia memeluk adiknya pelan-pelan dari samping. "Bujuk Daddy biar enggak ngasih izin aku sekolah ya?"

"Gak mau, Kakak tuh kenapa sih males banget sekolah? Nanti enggak pinter-pinter tau."

"Halah enggak sekolah aja aku udah pinter, ya dek ya? Hujan tau di luar dingin."

"Pake jaket lah." Yuan menjawab dengan santai.

"Ih..." Halim melepaskan pelukannya. "Enggak berpertikemanusiaan kamu."

"Udah diem, makan aja kenapa mau aku siram pake sereal hah?"

"Aku enggak—"

"Halim!" Yuan melotot. "Makan gak? Rewel banget kenapa? Buka mulutnya!" Dia terpaksa menyuapi Kakaknya dengan sereal milik dia sendiri.

Johnny and His 2 Children || YangyangWhere stories live. Discover now