17 : Bad Day

2.2K 302 38
                                    

Kondisi Yuan sudah berangsur-angsur tenang setelah Johnny menemaninya lebih dari 15 menit di ruang kesehatan. Halim dan yang lain belum kembali dan Ayah dari 2 orang putra itu belum mengetahui kondisi yang terjadi di luar. Melihat Yuan sudah bisa bernafas secara teratur saja rasanya Johnny sudah lega bukan main. Meskipun belum membuka mulutnya, setidaknya Yuan sudah merasa lebih baik. Tidak seperti tadi yang gemetar dan untuk membuka mata pun Yuan tampak kesulitan.

"Kakak mana Papa?"

"Lagi sama Kak Jenan, Papa enggak tau mereka dimana."

"Ayo susul Kakak."

"Tapi kamu masih harus istirahat. Tunggu sebentar lagi ya?"

Kepala Yuan menggeleng. "Mau Kakak."

"Kamu yakin?"

"Yakin."

Karena tidak ada pilihan lain, Johnny akhirnya membiarkan Yuan turun dari ranjang. Sejujurnya Johnny bahkan belum tau ada dimana anaknya dan temannya yang lain. Tapi untung salah 1 orang suruhan Tama masih ada di depan ruang kesehatan, jadi dia bisa menunjukan ada dimana Halim dan yang lain. Jenan benar-benar membawa mereka ke ruangan untuk melakukan investigasi. Mau tidak mau suka tidak suka, Rasyid, Shidiq, Jaiz dan Jaffan pun harus menjadi saksi bersama Halim dan Yuan.

"Yuan?" Halim menghampiri Johnny dan Yuan yang baru saja memasuki ruangan. "Kenapa kesini?"

"Ini yang namanya Yuan?" Seorang laki-laki berseragam hitam bertanya.

"Iya, saya Yuan." Anak itu hanya menjawab dengan pelan.

"Jadi Yuan, bisa kamu duduk disini?"

Johnny menatap Jenan yang menganggukan kepalanya. Dia rekan Jenan untuk mengidentifikasi kasus kematian Dipta. Sejujurnya Johnny berharap Yuan bisa di atasi oleh Jenan, tapi dari pada menciptakan keributan dia lebih baik duduk saja bersama Tian, Dimas dan orangtua lainnya. Meskipun perasaan was-was terus menghantuinya tapi Johnny harus bersikap profesional demi jalannya hukum yang berlaku. Tapi jauh dibalik itu kondisi Yuan sedang tidak stabil, Johnny khawatir pikiran Yuan akan terpecah kemana-mana dan menyebabkan dia sakit nantinya.

--

Suara gebrakan meja menggelegar di sebuah ruangan di kantor. Bela menatap nyalang satu persatu pegawainya, bahkan salah 1 asistennya sudah dibawa ke rumah sakit karena mendapat pukulan di kepala. Wanita yang kerap di sapa Oma itu baru saja mendapat kabar bahwa perusahaannya baru saja mengalami kebangkrutan. Meskipun bukan salah 1 perusahaan yang berpengaruh, jika di kalkulasikan tetap saja dia rugi besar. Dia tidak habis pikir karena Johnny bisa melawannya se-agresif ini. Bela yakin, bahwa ini bukanlah apa-apa dan hanya sebuah sambutan yang sedang di rencakan Johnny.

"Bagiamana keadaan anak-anaknya?" Bela bertanya entah pada siapa.

"Mereka masih di sekolah dan menjadi saksi atas kasus bunuh diri yang di sebabkan oleh direktur utama PT Diraksa."

"Siapa?"

"Halim, Yuan dan temannya yang lain."

"Kasus bunuh diri?"

"Anak dari direktur utama melakukan perundungan dan baru saja di panggil oleh pihak kepolisian, hal ini juga yang memberatkan kasus Ayahnya karena anaknya sudah berumur 18 tahun sehingga hukuman bisa di proses sesuai hukum. Selain itu Ayahnya menutupi kasus dan menyuap beberapa polisi untuk menutupi kasus anaknya."

"Sial!!!!" Suara benda berjatuhan kembali terdengar, kali ini barang-barang di meja yang menjadi korban kemarahan Bela.

Mau tidak mau Bela harus memikirkan cara untuk melawan Johnny. Dia tidak boleh lengah atau seluruh perusahaan akan jatuh atas kepemilikan Johnny. Bela tentu tidak mau hal itu terjadi. Sekalipun Johnny adalah cucu kesayangannya hal itu tidak membuat Bela akan merasa iba dan mau mengalah. Selama Johnny terus membela Yuan dia tidak akan pernah berhenti melawan Johnny. Padahal selama ini dia hanya ketakutan, Bela takut Johnny akan memberikan seluruh asetnya atas nama Yuan. Jika nantinya hal itu terjadi, Bela tidak bisa menguatak atik kepemilikan karena hubungan kekeluargaan Yuan hanya sebatas saudara tidak terikat darah. Jika hal itu terjadi, Bela hanya akan mendapat perusahaan yang tidak seberapa nantinya.

Johnny and His 2 Children || YangyangWhere stories live. Discover now