Nasha hanya diam, meski sekarang ia dan Althaf telah sampai di depan lemari eskrim. Melihat es krim yang beraneka macam itu, mau tidak mau membuat imannya tergoda.
Nasha tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
"Masih nggak mau?" tanya Althaf lagi.
Nasha tetap diam, tapi tak urung ia melongokkan kepalanya melihat berbagai es krim yang membuat lidahnya tergiur. Begitu penutupnya dibuka oleh Althaf, ia mengambil es krim sesuka hatinya.
'Bodo amat gue ngabisin uang dia buat es krim! Salah siapa jadi cowo PHP!'
Nasha menghitung es krim yang ia ambil. Total ada 20, 'Muat nggak ya ini es krim ditaruh kulkas?'
"Serius? Kamu mau beli sebanyak itu?"
"Nape? Nggak cukup uang lo?" tanya Nasha ketus.
Althaf ingin tertawa, tapi ia tahan. Tidak mau membuat perempuan itu semakin kesal. Sejauh ini, Nasha memang tidak pernah tau penghasilan Althaf berasal dari mana. Yang Nasha tau, Althaf pernah berkata bahwa Zayn pemilik rumah sakit tempat kemarin ia dirawat. Berarti sultan dong?
'Tapi masa iya dia udah nikah gini masih minta uang Abi?'
'Ah bodoamat gue udah ambil es krim 20 ini! Masa iya mau dikembaliin?'
'Kalau uang dia nggak cukup, yaudah gue bayar make uang gue sendiri!'
'Tapi masa iya nggak cukup? Dia belanja cemilan aja udah kek mau ngundang orang sekampung!'
"Udah?" Nasha mengangguk, dengan 20 es krim yang ada di pelukannya.
Althaf membawa seluruh barang belanjaannya ke kasir, tidak lupa dengan 20 es krim yang berada di pelukan Nasha. Mbak-mbak petugas kasirnya menahan senyum melihat tingkah 2 orang yang berlawanan jenis di depannya.
Nasha melongokkan kepalanya, melihat Althaf yang mengeluarkan uang begitu kasir menyampaikan jumlah total harga belanjaannya. Ada banyak lembaran uang berwarna merah disana. Ia bernapa lega, seenggaknya ia tidak merogoh dompetnya karena kekurangan uang.
***
Hari beranjak malam. Nasha sudah berdiam diri di kamarnya dengan es krim yang Althaf tidak menghitung berapa banyak yang telah perempuan itu habiskan. Sisanya ditumpuk di kulkas. Bahkan kini freezer-nya penuh dengan es krim milik Nasha.
Meski telah menghabiskan beberapa es krim, perempuan itu tetap setia dengan mode diamnya. Bahkan ketika Althaf mengajaknya berbicara berkali-kali perempuan itu tetap mengacuhkannya. Apa yang salah dari dirinya?
Keterdiaman Nasha membuat Althaf tidak bisa fokus dengan laptopnya, ide-idenya membuat desain power point untuk ujiannya besok seakan hilang tak berbekas. Dosen pembimbingnya sudah memberikan acc untuk laporan KKNnya. Tanggal ujiannya sudah ditentukan. Ia tinggal membuat power point dan memeriksa lagi laporan KKNnya sebelum menjadikannya format PDF.
Althaf menatap laptopnya dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang ke perempuan yang kini sedang berada di samping kamarnya. Nasha benar-benar mendiamkannya. Althaf sungguh tidak mengerti, apa yang membuat Nasha diam seribu bahasa. Hampir menyerupai patung. Ia benar-benar lupa dengan apa yang ia katakan kepada perempuan itu.
Althaf masih ingat saat suasana di mobil hampir sama seperti kuburan, sepi. Biasanya, perempuan itu masih berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya, namun kali ini tidak. Althaf bingung harus melakukan apa untuk mengembalikan Nasha seperti semula.
PYAR!!!
"ALTHAF!"
Althaf berjengit kaget. Secepat kilat ia berlari ke kamar Nasha untuk melihat apa yang terjadi. Ia melihat Nasha yang berusaha menggapai air minum di meja sebelahnya, namun gelas itu malah terjatuh dan pecah di lantai. Perempuan itu berkaca-kaca, berusaha mengambil pecahan gelas yang jatuh tidak jauh dari ranjangnya.
"Nasha! Udah, jangan diambil!"
Althaf mendekat, melangkah berhati-hati agar tidak sampai menginjak pecahan gelas itu. Ia mengambil pecahan gelas yang paling besar beserta pecahan-pecahan kecil lainnya, lalu membersihkan air dan sisa pecahan gelas yang tak terlihat menggunakan sebuah kain.
Nasha menunduk takut begitu Althaf memperhatikannya usai membersihkan pecahan gelas. Lelaki itu kini duduk di tepi ranjang berseberangan dengan dirinya.
"Ma-maafin gue, Al. Gue nggak se-"
"Udah nggak papa, gelas kita nggak bakal habis hanya karena kamu pecahin,"
"Tapi,-"
"Nasha," peringat Althaf dingin.
Nasha terkesiap mendengar nada bicara Althaf yang seketika berubah. Althaf tidak pernah sedingin ini kepadanya. Apa laki-laki itu marah? Dadanya berubah menjadi sesak, rasa bersalah menyeruak di dalam hatinya. Ia tidak sengaja memecahkan gelas, namun kenapa Althaf berubah seperti ini? Tiba-tiba, segala ucapan Orlan berputar di otaknya. Tak terasa matanya memanas, dan ia terisak tanpa suara.
"Maafin gue, Al. Gue beneran nggak sengaja. Gue tau, gue emang cacat, gue emang nggak guna, gue emang nggak sempurna. Gu-gue tau gue salah, tapi jangan marah sama gue. Gu-"
"Aku boleh meluk kamu?"
Nasha tak menjawab, tapi ia kini menubruk dada Althaf yang berada tak jauh darinya.
'Bodoh! Kenapa harus tanya dulu sih?'
Isak tangis Nasha semakin keras begitu Althaf balik mendekapnya erat. Ia menyembunyikan wajahnya di dada lelaki itu. Menyalurkan segala kesedihan, kekesalan, hingga ketakutannya pada hari ini. Dirinya capek dengan keadaan yang seperti ini. Dimana ia selalu menjadi pusat perhatian, pusat makian, pusat cemoohan, Nasha membenci semua yang terjadi pada dirinya.
"Gue kesel sama lo! Gue kesel karena lo udah manggil gue sayang, tapi lo malah nggak sadar sama apa yang lo omongin, Lo sebenernya sayang nggak sih sama gue?"
Nasha tahu bahwa dirinya terlalu tidak tahu diri. Baru hari kedua pernikahan sudah mempertanyakan perasaan Althaf. Jelas saja tidak. Lelaki itu cuma kasihan terhadap dirinya. Tidak lebih. Berharap kepada Althaf hanya akan menambah beban di hatinya.
"Nasha," ucap Althaf dengan nada yang lebih pelan. "Nggak ada yang marah sama kamu," lanjutnya seraya mengusap punggung perempuan itu.
Wangi vanilla bercampur buah-buahan dari rambut Nasha menguar memasuki indra penciuman Althaf. Lelaki itu ingin mendaratkan dagunya disana. Tapi tidak, ia tidak akan melakukan sentuhan fisik yang melebihi batas wajar jika bukan Nasha yang melakukannya. Ia tidak ingin perempuan itu semakin tertekan.
"Tapi nada bicara lo kaya orang marah," jawab Nasha pelan.
Althaf mengusap punggung Nasha pelan, "Enggak, aku nggak marah. Itu biar kamu nggak terus nyalahin diri kamu sendiri,"
"Tapi emang salah gue. Orlan bilang-"
"Sstt udah. Dia orang gila, sebagai orang waras kita nggak usah percaya omongan dia,"
"Tapi,-"
"Udah Nasha, mau aku marah lagi?" tanya Althaf. Ia dapat merasakan gelengan kepala Nasha di dadanya.
"Enggak!"
"Yaudah jangan nangis,"
Nasha masih menyembunyikan wajahnya di dada Althaf, enggan beranjak dari sana. "Sayang sama gue nggak?"
Althaf berdehem mendengar pertanyaan yang dilontarkan Nasha secara tiba-tiba itu, "Mau sampe kapan meluk aku kaya gini?"
"Jawab dulu! Sayang sama gue nggak?"
.
.
.
TBC.
Uhuy! Gimana sama part ini? Jangan lupa vote and komen yaa!!
Spam komen kuy!
BINABASA MO ANG
Unpredictable
Romance[Campus Story 1] [END] Start: 20 Juni 2020 Finish: 24 Juli 2022 Judul lama : Hai you! Haura Nasha Athaillah, seorang mahasiswi administrasi bisnis yang sedang menempuh semester 3. Perempuan cantik itu berubah menjadi pendiam, cuek, dan dingin seme...
Part 24 - PYARRR!!!
Magsimula sa umpisa
