17. Yang Tak Terduga

538 54 1
                                    

Kening Naura berkerut saat sinar matahari pagi menerpa wajahnya. Tak lagi menyelinap masuk, cahaya itu bahkan sudah menjadi tamu di setiap harinya, tanpa malu-malu masuk saat sang Mama membuka lebar jendela kamar Naura.

"Selamat pagi, Tuan Putri," sapa Hanum pada Naura saat mendengar suara desisan keluar dari mulut Naura. "Ada kelas pagi, kan?" tanya Hanum pada putrinya.

Tak menanggapi, Naura menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh.

"Yang begini ini, mau jadi istri Azam," Hanum mendesah, "sepertinya Azam perlu di Rukiyah dulu sebelum nikahin kamu."

Naura menyingkap selimutnya, mendesis seraya menatap tajam Hanum.

"Kenapa?" tanya Hanum dengan santainya membalas tatapan Naura, "kamu tersinggung?" sindirnya.

Naura tak menjawab, hanya menatap Hanum dengan tajam.

"Mama bukan membandingkan, nih, ya ... apa lagi buat kamu patah semangat," ucap Hanum seraya membuka menyibak tirai lalu membuka jendela, "barang kali kamu lupa ... Azam itu..."

"Selain tampan ... dia juga pria yang cerdas, rajin, bertanggung jawab, dan dewasa," sambung Naura lalu menyeringai kesal. "Udah hafal, Mah, nggak perlu diulang-ulang."

"Bukan begitu ... Mama cuma ..."

"Mau aku jadi istri yang baik untuk Mas Azam, kan," sambung Naura lagi membuat Hanum terdiam, tersenyum samar kemudian.

Naura bangkit dari kasur, berjalan mendekati Hanum lalu mencium pipi sang Mama sekilas.

"Naura akan melakukan yang terbaik, semampu yang Naura bisa." Naura tersenyum lebar pada Hanum. "Naura mandi dulu, ya," ia lantas berjalan menuju kamar mandi.

Naura menutup pintu kamar mandi, kembali membukanya, mengeluarkan kepala, menatap Hanum lalu tersenyum.

"Selamat pagi juga, Mama sayang," ucap Naura membalas sapaan sang Mama yang sebelumnya tidak ingin balas, lalu kembali menutup pintu kamar mandi.

Hanum berkerut kening, tertawa pelan kemudian melihat tingkah Naura.

______________

"Aku suka kamu, Ra ... sejak lama ... dan aku berharap hubungan kita bisa lebih dari sebelumnya."

Kening Naura berkerut mendengar setiap kata yang Azam ucapkan. Merasa tidak asing dengan kata-kata tersebut. Naura tampak berpikir. Sesaat kemudian matanya membulat setelah menyadari ternyata kata-kata yang Azam gunakan adalah kata-kata yang Fathan katakan padanya.

"Itu..."

"Apa jawaban kamu?" tanya Azam saat melihat Naura tampak ragu untuk melanjutkan kata. "Yes ... or, no?"

"Ya," jawab Naura setelah terdiam beberapa saat. Azam mendesah, tersenyum miris.

"Kalau kamu yang bertanya begitu," lanjut Naura.

Azam memandang Naura dengan kening berkerut. "Maksud kamu?" tanyanya bingung.

"Ayo, pacaran," ajak Naura tanpa basa-basi. "Ah, bukan ... tunangan?" tanyanya pada Azam. "Atau menikah?" tanyanya lagi. "Kamu pilih yang mana?"

Azam tercengang lalu menghela nafas kemudian. "Jangan main-main, Ra," kesalnya.

"Tapi tunggu aku selesai kuliah dulu," ucap Naura tidak menghiraukan apapun yang Azam katakan. "Setelah itu baru menikah."

"Ra."

"Iya, sayang," jawab Naura tersenyum. Azam lantas terdiam karenanya.

Azam memejamkan mata seraya menghela nafas. Tingkah Naura membuat Azam tidak mampu berpikir. Bahkan Azam seakan hampir kehilangan kesadaran.

PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)Where stories live. Discover now