16. Jangan Pergi

603 69 5
                                    

Naura menutup pintu lalu menguncinya. Memejamkan mata, Naura lalu menghela nafas. Dengan langkah lemah Naura menghampiri tempat tidur lalu duduk di atasnya. Naura menoleh ke arah nakas, memandang foto berbingkai di sana yang menampakkan tiga orang anak tersenyum lebar seolah tak memiliki beban.

Pandangan Naura terfokus pada sosok gemuk di samping kanannya, sosok yang jauh berbeda dari sosoknya yang sekarang.

"Aku rindu," bisik Naura, lirih.

Naura menghela nafas. Perlahan bibirnya tertarik membentuk senyum getir. Segala perdebatan yang terjadi antara Naura dan kedua orang tuanya, bukankah Azam penyebabnya? Namun demikian, Naura tidak bisa untuk membencinya. Naura tidak bisa untuk tidak merindukannya. Bahkan Perasaan bersalah atas sikap kasar pada orang tuanya membuat air mata Naura mengalir.

"Apa yang sudah kulakukan," ucap Naura menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Tapi kamu nggak ada niat untuk menahannya."

Naura menyingkirkan kedua tangannya saat perkataan Hanum terngiang di telinganya. Dalam hati ia ingin, tapi akalnya menentang keinginan itu. Menahannya untuk membiarkan Azam melakukan apa yang ingin pria itu lakukan.

"Hah,"

Naura mendesah. Gelisah, rindu, kecewa, seakan menyatu membuat perasaan Naura tidak nyaman. Naura tidak lagi sanggup berpikir. Ia raih tasnya lalu mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Menatap nomor Azam lalu menghubunginya.

"Halo,"

"Jangan pergi."

_______________

Azam memainkan ponsel ditangannya naik turun layaknya seorang yang tidak memiliki kegiatan dan malas melakukan apa-apa.

Naura.

Mata Azam membulat saat ponselnya berdering dan memperlihatkan nama Naura tertera di layarnya. Azam berdebar. Menerka-nerka apa yang Naura inginkan dengan menghubunginya.

Azam meletakkan ponsel itu di sampingnya dan membiarkan ponsel itu terus berbunyi. Merasa penasaran, Azam lalu mengambil ponsel itu kembali dan menjawab panggilan Naura.

"Halo,"

"Jangan pergi."

Azam terdiam, mematung ditempatnya. Panggilan baru saja berlangsung dan Naura sudah membuat jantung Azam berdebar. Azam bahkan merasa tak percaya jika Naura menahannya untuk pergi.

Azam mulai ingin memastikan, bisa saja kata 'jangan pergi' itu bukan ditujukan padanya.

"Ra."

"Jangan pergi ... Mas Azam," lirih Naura.

Azam lagi-lagi terdiam. Namun sesaat kemudian bibirnya mengembang membentuk senyum lebar. Mengedip-edipkan mata, sebab matanya mulai berlinang saking bahagianya. Dugaan Azam ternyata salah. Permintaan itu memang Naura tujukan padanya.

"Mas..."

"Bisa ulang lagi?" tanya Azam. "Ah, jangan ... aku mau mendengarnya langsung. Tunggu, aku kesana."

"Mas..."

"Sebentar ... aku berangkat sekarang."

Azam mengakhiri panggilan. Meraih kunci motornya dari atas nakas lalu berlari keluar kamar.

"Azam keluar sebentar," pamit Azam melintasi kedua orang tuanya yang tengah bersantai di ruang tamu.

"Mau kemana!" teriak Safna sebab Azam sama sekali tak menghentikan langkah. "Mau apa lagi dia sekarang." Safna berkerut kening, merasa khawatir.

PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)Where stories live. Discover now