4. Makan Malam 2

697 76 12
                                    

Caera duduk termenung di meja makan, dengan mata memperhatikan Azam beserta orang tua mereka menikmati makan malam.

Seperti yang Azam katakan, acara makan malam itu akan berlanjut sebab pembahasan kemarin malam masih belum terselesaikan. Dan saat ini dua keluarga itu sudah duduk bergabung di ruang tamu, kembali membahas perjodohan Naura dan Azam.

"Jadi bagaimana?" tanya Hanum menatap Naura serta Azam bergantian. "Mama ingin mendengar keputusan dari kalian berdua."

Naura berkerut kening. Menatap Azam dengan mulut yang masih terkunci. Mengingat kembali permintaan Azam yang terdengar tulus bahkan semakin menyentuh hati saat perkataan itu kembali terulang.

"Tapi aku juga serius dengan lamaran itu ... jika boleh meminta, aku ingin kamu memikirkannya dan memberikan aku sedikit kesempatan untuk lebih dekat."

Naura berdebar, merasa berharga sebab permintaan Azam. Ingin Naura mengutarakan perasaannya Namun suara Azam menghentikan niat itu.

"Azam, minta maaf, Bunda ... sepertinya kali ini, Azam harus membuat kalian kecewa," ucap Azam penuh penyesalan. Sekilas ia menatap Naura, tersenyum kecil pada gadis itu.

Naura pasti berpikir jika Azam pria yang tidak berkomitmen. Ia meminta agar Naura yang menolak, namun pada akhirnya Azam jugalah yang membuat keputusan. Keheningan Naura membuat Azam harus berpikir beberapa kali. Takut jika keputusannya akan merugikan gadis yang dicintainya itu.

"Kenapa?" tanya Hanum. Penolakan Azam membuat orang tuanya serta orang tua Naura bertanya-tanya.

Sejak kemarin malam Azam tampak menghindari dan ingin mengakhiri pembicaraan itu. Azam terus saja menolak setiap kali orang tuanya serta orang tua Naura menanyakan pendapat, padahal sejak awal pria itulah yang menginginkan Naura dan datang sendiri melamar gadis itu pada orang tuanya. Meski sebenarnya dua keluarga itu mengharapkan hal demikian. Namun karena keberanian Azam, tentu mereka tak perlu bersusah payah untuk menjodohkan.

"Azam, mau melanjutkan kuliah, Bunda." Azam mengulang kembali alasannya -- masih dengan alasan yang sama.

"Kalian bisa bertunangan lebih dulu." Safna angkat bicara. "Bukan berarti bertunangan akan menghambat semua keinginan kamu."

"Azam, nggak mau mengikat, Naura, Mah," jawab Azam. "Pertunangan itu hanya akan menghambat pergaulan Naura." Tentu saja yang Azam maksud itu pergaulan dengan pria lain. "Bisa saja disaat Azam pergi, Naura menemukan pria lain yang bisa membuat dirinya nyaman ... begitu pula Azam. Bisa saja disaat penantian Naura, Azam malah bersama gadis lain dan mulai melupakan Naura. Dan disaat itu siapa yang akan terluka? Kami juga.

"Azam, nggak mau egois, Mah." Azam menggeleng. "Azam terlalu menyayangi kalian semua dan melukai perasaan kalian ... aku takut melakukan itu. Jadi biarkan kami yang menentukan jalan mana yang akan kami tempuh." Azam lantas menatap Hanum dan Fatih. "Azam minta maaf, Bunda, Pah ... seharusnya Azam, nggak datang dan melamar, Naura pada kalian. Sekali lagi, kalian harus merasakan kecewa karna sikap, Azam."

Mendengar penutur Azam, Fatih tersenyum seraya mengangguk kecil. Cukup kagum dengan keberanian pria itu. Mengingatkan Fatih pada Danu saat mereka masih muda dulu. Ternyata Azam memiliki sifat yang sama seperti Ayahnya. Terlebih lagi dari sikap jujur dan keberaniannya.

"Papa salut sama kamu." Fatih tersenyum menatap Azam. "Disaat kamu menginginkan Naura, kamu masih mau memikirkan dia ... memikirkan perasaannya."

Azam tersenyum. "Atau lebih tepatnya memikirkan perasaan sendiri?" Azam menyuarakan pertanyaan pada Fatih membuat pria itu tertawa karenanya.

Bukan hanya Fatih, Hanum, serta orang tua Azam juga tersenyum mendengar perkataan pria itu. Diantara gelak tawa itu perhatian Danu tertuju pada Naura. Gadis itu tampak melamun, entah apa yang tengah ia pikirkan.

PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)Where stories live. Discover now