14. Pilihan

532 65 3
                                    

Azam berjalan pelan menghampiri kedua orang tuanya yang tengah duduk bersantai di ruang keluarga. Tanpa permisi ikut duduk bersama mereka. Menatap orang tuanya lekat hingga membuat kedua menatap bingung.

Ada suatu hal yang ingin Azam bicarakan kepada kedua orang tuanya. Menghela nafas, Azam lantas tersenyum menatap keduanya.

"Minggu depan Azam berangkat ke Belanda," kata Azam langsung tanpa basa-basi.

Azam tidak menyangka, gertakan yang ia katakan untuk membuat Naura berpikir, pada akhirnya akan ia lakukan juga. Keputusan paling berat Azam pilih untuk melupakan Naura.

Safna terkejut dengan mata membulat. "Kamu mau melarikan diri?" tanyanya yang terdengar seperti tuduhan ditelinga Azam.

Melarikan diri. Terdengar pengecut sebenarnya. Tapi berada di satu tempat dimana orang yang dicintai bersama pria lain, Azam tidak mampu untuk melihatnya. Azam bahkan tidak sanggup untuk bahagia diatas kebahagiaannya. Terlebih lagi jika harus mengatakan 'aku bahagia kalau kamu bahagia'. Bohong! Bodoh! Menurutnya orang yang berkata demikian. Bahagia Azam hanya bersama orang yang ia cinta. Bukan melihat orang yang ia cintai bahagia bersama orang lain.

"Sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya Danu. "Coba pikirkan baik-baik, pelan-pelan, jangan terbawa emosi mau pun situasi." Danu memberi nasehat pada putra semata wayangnya.

Azam menghela nafas seraya memejamkan mata. Membukanya kembali lalu menatap sang Ayah.

"Dipikirkan pelan-pelan mau pun baik-baik hasilnya akan tetap sama, Yah," lirih Danu, "keadaan nggak akan berubah sebab Danu yang berharap," lanjutnya dengan tatapan kecewa.

"Kalau begitu biar Mama yang bicara pada Naura," kata Safna mulai meraih ponselnya yang terletak di atas meja.

Azam menahan tangan sang Mama yang sudah berhasil menggapai ponselnya. Menggelengkan kepala tersenyum menatap Safna.

"Jangan, Mah ... jangan dipaksa," pinta Azam. "Biar Azam yang mengurus semuanya. Mama sama Ayah sudah cukup membantu Azam selama ini ... jadi urusan selanjutnya, biar Azam yang selesaikan."

Safna menatap lekat wajah putranya. Azam melepas tangan sang Mama. Safna membuang muka, menutupi rasa sedih hatinya yang terlihat jelas dimatanya. Mengusap sebelah pipinya yang basah akibat tetesan air mata.

"Azam baik-baik saja, Mah," kata Azam berusaha menenangkan hati sang Mama. Namun demikian, sang Mama tidak juga mau menatapnya.

"Tapi kalau Azam tetap bertahan disini ... semuanya nggak akan baik-baik saja," lanjut Azam menatap lembut Safna yang tak juga berniat menatapnya.

"Apa Naura lebih penting dari pada Mama!" ucap Safna menatap tajam Azam. "Kamu tega meninggalkan Mama hanya karna Naura tidak membalas perasaanmu?" tanya Safna dengan suara bergetar. "Apa kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan Mama?"

"Bukan begitu, Mah," Azam menghela nafas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Apa Mama sanggup melihat Azam menderita?" tanyanya lalu kemudian Azam menghela nafas lagi.

Safna hanya diam, menatap Azam saja.

"Bukan hanya memikirkan perasaan Azam. Azam juga memikirkan perasaan Mama," ucap Azam. "Mama nggak akan tenang melihat Azam duduk melamun memikirkan perasaan ... Mama juga akan merasa serba salah jika Azam bersikap baik-baik saja padahal sebenarnya enggak baik-baik saja ... jadi izinkan Azam pergi. Seenggaknya untuk menenangkan diri. Azam akan kembali jika sudah merasa baik."

"Apakah tekadmu sudah bulat?" tanya Danu pada Azam.

Azam menatap sang Ayah. Terdiam sesaat tampak berpikir, lalu mengangguk kemudian.

PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)Where stories live. Discover now