36.

4.5K 737 109
                                    

Jayden melangkah lesu meninggalkan bandara Soekarno Hatta. Pesawat Noelle sudah berangkat sejak sepuluh menit yang lalu, begitu juga dengan keluarganya yang sudah pulang. Yang tersisa hanya dirinya sendirian.

Jayden mengaktifkan ponselnya. Yang paling menarik perhatiannya adalah puluhan panggilan tak terjawab dari Jake juga Shaka. Jangan lupakan notifikasi ribuan pesan dari grup angkatan sekolahnya.

"Rame banget. Ada apaan." monolog Jayden sambil masuk ke mobilnya.

Ia mencoba untuk menelpon Jake. Tidak butuh waktu lama untuk Jake mengangkat panggilan. Biasa jomblo gak punya kerjaan ya begitu. Gabut.

"Akhirnya hp lo aktif. Lo kemana aja sih. Seharian dihubungin gak aktif."

"Gue lagi bulan madu. Sengaja gak ngaktifin hp. Ada apaan lo nelponin gue?"

"Oalah. Bulan madu toh. Gimana?"

"Kok gimana? Apanya yang gimana?"

"Jangan sok loading deh lo. Ya itunya. Jayden junior. Udah dibikin belum?"

"Harus banget lo tanya gituan? Itu privasi asal lo tau aja."

"Emang udah ngelakuin? Dari gelagat lo sih keknya udah ya."

"Belum." jujur Jayden akhirnya. Memang ia dan Noelle tidak melakukan apa-apa semalam. Ya mungkin hanya cuddling sampai pagi.

"Hahahaha. Eh kok gue malah ngakak. Jay, lo mending ke sini deh. Ada hal penting yang pengen gue kasih tahu."

Jayden mengernyit bingung ketika nada bicara Jake berubah serius.

"Oke. Lo dimana?"

"Di rumah. Ada anak pungut juga nih disini. Cepet deh lo."

"Anak pungut? Shaka?"

"Ya iya lah. Nginep di rumah gue semalem."

Jayden tertawa sebentar lalu memutuskan panggilan sepihak. Ia langsung menancap gas menuju rumah Jake.

.

"Jay, lo gak apa-apa? Lo udah bengong begini hampir dua puluh menit." Shaka menggoyangkan bahu Jayden berulang-ulang. Memastikan jika sahabatnya itu tidak apa-apa.

"Jay?" Kini Jake ikut melambaikan tangannya di depan wajah Jayden.

"Gue... Masih gak habis pikir. Haris pergi secepat itu. Gue bodoh banget karena seneng-seneng di saat temen gue lagi kena musibah." Jayden mengusap wajahnya kasar. Ia sangat merasa bersalah sekarang. Bagaimana bisa dirinya tengah bersenang-senang ketika Haris meregang nyawa. Bahkan parahnya, ia tidak hadir di hari pemakaman Haris.

"Lo gak boleh nyalahin diri sendiri. Ini udah takdir, Jay. Meskipun lo di sini juga gak menutup kemungkinan peristiwa itu tetap terjadi." tenang Shaka yang diangguki oleh Jake.

"Tapi gue goblok banget. Temen macem apa gue ini."

"Jay, stop. Lo gak boleh terus-terusan begini. Gue sama Shaka juga sedih. Semua orang sedih karena kepergian Haris."

"Daripada lo terus-terusan nyalahin diri lo sendiri. Mending lo bantuin kita buat nangkep siapa dalang dari pembunuhan Haris."

"Apa yang dibilang Jake bener, Jay. Kita butuh lo buat nyelidikin masalah ini. Keluarga lo pasti punya relasi banyak kan kalau soal detektif."

Jayden mengangguk mantap. Mungkin benar. Untuk menebus rasa bersalahnya, ia harus bisa menangkap orang yang membunuh Haris.

"Oke. Gue bakal hubungin para polisi detektif kenalan papi secepatnya. Sebelum itu, polisi juga lagi nyelidikin kasus ini kan?"

Oh My Jay (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang