11. Teror Rezi

44 10 2
                                    

Hari-hari Maila tak lagi tenang karena Rezi benar-benar agresif mendekatinya. Pemuda itu pintar berakting rupanya. Ia akan terlihat super manis di depan orang lain, namun akan menjadi menyebalkan saat di hadapan Maila. Di depan Maila, ia akan sok posesif. Melarang Maila pergi sendiri, meminta Maila mengirim kabar dan sejenisnya. Dan sungguh, Maila tak tahan, namun ia juga tak bisa menghindar. Rezi seolah bisa menemukannya di mana pun ia berada.

"Kalau gini ceritanya, sama aja gue lepas dari mulut buaya kayang masuk ke mulut beruang kutub," keluh Maila.

Hari ini Rezi kembali menegurnya perkara ia pergi belanja kebutuhan pribadinya pada jam makan siang. Rezi mengomel karena seharusnya ia belanja waktu malam saja bersama Rezi sepulangnya bekerja.

Maila tak bisa membalas banyak, karena Rezi menegur di depan karyawannya. Walau ia melakukannya saat berada di dalam ruangan Maila, namun di sana sedang ada dua karyawan Watemaki yang tengah rapat kecil dengan Maila. Kata-kata dan nada yang digunakan Rezi memang sopan, namun tentu saja sorot matanya yang tajam-menghujam membuat siapa pun menjadi sungkan untuk sekadar memperingatkan.

"Bukan main lo, Zi, dalam ngebales gue," gerutu Maila.

***

Tadi pagi, Rezi berpesan agar mereka pulang bersama. Pulang bersama yang Rezi maksud ialah mereka pulang berdua menggunakan sepeda motor milik Rezi, seperti yang terjadi sebelumnya. Sementara mobil akan dibawa Dona menuju rumah Maila. Barulah, setelah Maila turun dengan selamat, Dona akan kembali ke rumahnya membonceng Rezi. Tentu saja Maila menolak, ia ingat bagaimana tidak nyamannya duduk di belakang jok motor Rezi. Bukan, bukan karena motor matic itu tidak nyaman dikendarai, justru pengendaranya itu sendiri yang membuat Maila tidak nyaman. Dan Maila belum lupa bagaimana rupa Dona yang tertekuk sempurna saat turun dari mobilnya, membuat Maila merasa tak enak hati.

Maka, untuk menghindari Rezi, Maila sengaja berlama-lama dalam ruangannya. Ia berpesan pada Handi bahwa ia akan lembur. Dengan begitu Maila kira Rezi akan mengalah dan pulang terlebih dahulu. Maila rasa, Rezi tak mungkin membiarkan sepupunya ikut menungguinya hingga malam. Tersenyum bangga akan idenya, Maila pun segera menyolokkan flasdisk ke colokan smart tv guna menonton drama yang belum ia selesaikan tadi malam. Barusan, Handi menjadi karyawan terakhir yang pamit pulang, Maila telah berpesan agar pintu utama dikunci saja, toh, Maila punya kunci cadangan.

Maila menyandarkan tubuhnya pada sofa panjang. Di pangkuannya terdapat keripik jamur Dieng. Camilan yang awalnya ia cicipi karena penasaran dengan serba-serbi tentang kota kelahiran Rezi termasuk makanan khasnya. Namun kini, Maila menjadi penggemar berat dari keripik jamur Dieng dan keripik kentangnya. Jangan lupa, manisan dan sirup buah carica adalah minuman favoritnya.

Maila begitu hanyut dengan drama yang tengah ditontonnya. Sesekali ia ikut berteriak sebal, namun tak jarang pula ia tertawa terbahak-bahak. Seperti saat ini, ia tertawa begitu keras, hingga ia tak sadar bahwa pintu ruangannya yang berjarak dua meter di sisi kanannya telah terbuka.

"Jadi, lembur yang lo maksud, tuh, ini? Lembur nonton drama?"

Maila terlonjak mendengar suara di samping belakangnya. Dengan takut-takut, ia menoleh.

"Aaaaaaaa!"

Maila kaget setengah mati hingga terjatuh dari sofa, begitu melihat sosok Rezi sedang berdiri dengan tangan bersedekap.

"Auh, pantat gue!" ringis Maila pelan.

Ia bangkit perlahan dari lantai sambil menggerutu. "Lo ngagetin gue aja! Lagian, bukannya pintu udah dikunci sama Handi. Kok, lo bisa masuk?"

"Gue udah di dalem sejak Watemaki belum ditutup," jawab Rezi.

Mendengar jawaban Rezi membuat Maila merutuk lirih. "Kurang asem si Handi, bisa-bisanya dia nggak bilang kalau Rezi ada di sini."

"Gue yang minta Handi buat nggak ngasih tahu lo kalau gue nunggu di sini," rupanya Rezi mendengar rutukan Maila, karena posisinya yang tengah mendekati Maila.

"Minta dipecat, nih, si Handi."

"Nggak perlu, gue rasa lo masih butuh dia buat jadi perantara ngomong sama gue," saran Rezi sekaligus mencibir.

Bola mata Maila memutar, jengah dengan keadaan. Hidupnya kini sudah tak tenang lagi, akibat teror dari Rezi.

"Lo kenapa bohong?" Rezi berkata tajam.

"Bohong sama Handi, kan? Bukan sama lo," Maila membalas santai, berbanding dengan jantungnya yang berdebar tidak karuan. Berduaan dengan Rezi di warung yang telah tutup, kenapa dirinya baru menyadarinya?

"Bohong sama Handi, yang lo tahu sendiri kalau tuh anak pasti bakal nerusin omongan lo ke gue. Itu artinya, lo mau bohongin gue juga," Rezi membalikkan fakta. "Lo mau hindarin gue?"

"Iya," di luar dugaan, Maila justru berterus terang. "Males gue direcokin lo mulu. Lo mah, kayak bocah, Zi. Ngambeknya lama. Gue udah minta maaf juga, masih ngehukum gue terus. Udah dong, sana jauh-jauh dari hidup gue."

Raut wajah Rezi mengeras. Maila yang menyadarinya lantas menggeram pelan. "Aduh, gue salah ngomong lagi kayaknya," sungut Maila dalam hati.

"Gue bukan bocah," kata Rezi datar.

"Iya, gue tahu. Itu 'kan cuma kiasan," Maila cepat-cepat meralat.

"Dan gue nggak suka dikatain kayak bocah."

Napas Maila terasa semakin berat saja. "Oke, gue salah ngomong. Gue minta maaf."

"Lo minta maaf terus beberapa hari ini."

Maila yang sedari tadi membuang muka kini menatap jengkel pada Rezi. "Ya itu karena lo nggak kunjung maafin gue, Zi. Lo hukum gue tanpa ada kepastian kapan hukuman lo itu bakal berakhir. Beneran, Zi. Gue capek. Lo kapan, sih, berhenti ngambeknya? Gue udah nurut sama lo, nggak peduli lo kerjaannya sewot sepanjang waktu. Bahkan, lo ngomelin gue di depan karyawan Watemaki aja gue diem. Udah segitunya, masih belum cukup juga buat lo?"

"Belum. Gue belum bisa bikin lo jatuh cinta beneran sama gue. Misi gue, bikin lo cinta sama gue, terus gue campakkin. Sesuai sama kecurigaan lo, kan?" Rezi menampilkan senyum tengilnya sesaat.

Maila tercengang. "Zi, lo waras, kan? Mana ada orang yang bakal jatuh cinta kalau sikap lo nyebelin begini. Apalagi gue tahu betul tujuan lo. Apa menurut lo gue bakal tetep bego dengan jatuh cinta sama elo?"

"Kalau gitu, lo harus lebih sabar lagi. Karena semakin lama waktu yang lo butuhin buat cinta sama gue, makin lama pula hukuman yang harus lo terima," pungkas Rezi dengan senyuman miringnya.

Skak mat!

Maila tak bisa berkata-kata lagi untuk membalas Rezi. Sungguh, ia ingin sekali mengulang waktu, membuang jauh-jauh pikiran soal mendekati Rezi, agar bisa mengubah jalan hidupnya kini. Maila menyerah dengan kegilaan Rezi.

"Zi, gimana kalau kita pura-pura kencan di depan semua pelanggan dan karyawan Watemaki. Terus tiba-tiba lo marah, nuduh gue selingkuh, nuduh gue yang nggak-nggak. Dan campakkin gue di depan semua orang?" Maila menawarkan ide gila.

"Lo rela nama baik lo tercoreng?"

"Kalau itu bisa bikin lo puas dan nggak gangguin gue lagi. Ya, gue rela."

Rezi tampak menimbang, membuat harapan menyelubungi hati Maila. Lama Rezi berpikir, hingga Maila jadi cemas sendiri. Alih-alih menjawab, Rezi justru berjalan mendekati meja, tangannya meraih remot untuk mematikan televisi. Ia lantas menarik flasdisk, memasukkannya ke dalam tas Maila serta menenteng tas berwarna gading itu di tangan kirinya.

"Tapi, Mai, gue lebih puas kalau bisa gangguin lo sepanjang waktu. Jadi, tawaran lo nggak berlaku buat gue," Rezi menjawab tepat di samping Maila, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

"Ayo pulang!"

Rezi menarik lengan Maila, membawanya keluar.

____________

Rezi ini, nyeremin, nyebelin atau gemesin???

nona gesrek dan pemuda patah hatiWhere stories live. Discover now