30. Perkara Bulan Madu

31 11 1
                                    


Orangtua dan keluarga Rezi telah kembali ke kota asal mereka. Sesuai rencana, dua bulan kemudian akan diadakan resepsi ngunduh mantu di Wonosobo, dengan orangtua Rezi sebagai si tuan hajat.

Seminggu dilalui Maila dengan menyandang status baru. Hari-harinya tak berubah jauh dari sebelumnya. Hanya saja, beberapa kebiasaan baru kini harus ia biasakan. Misalnya saja, ia tak boleh lagi lupa kalau kini ada Rezi yang mesti ia perhatikan. Walau Rezi tak menuntut dilayani, tapi rupanya Maila tetap merasa bersalah sewaktu di hari kelima pernikahan ia pergi duluan menuju Watemaki, melupakan Rezi yang saat itu tengah mandi.

Semenjak menikah, Rezi meminta pada Maila agar berangkat menuju Watemaki bersama. Yang kemudian mereka akan sarapan di Watemaki, sebelum Rezi menyeberang jalan mengarah ke gedung kantornya saat mendekati jam kerjanya dimulai.

Namun, pagi itu Maila mendadak kurang fokus, hingga ia tanpa sadar berangkat terlebih dahulu. Ia baru ingat, ketika sampai di Watemaki dan Handi mencibirnya. Handi kira, Maila tengah tidak akur dengan suaminya, sebab mereka berangkat terpisah. Membuat Mails sadar bahwa ia telah meninggalkan suaminya di rumah.

"Mai, jangan lupa, berangkat bareng. Jangan main pergi aja," ledek Rezi saat Maila baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Kini Maila tak canggung lagi melepas hijabnya di depan Rezi.

"Ledek aja teroooss!"

Rezi terpingkal melihat istrinya cemberut. Sejak kejadian itu, orang-orang di sekitar Maila menjadi punya hobi baru. Mereka dengan senang hati akan mengingatkan Maila bahwa dirinya kini telah memiliki suami yang tak boleh dilupakan. Awalnya Maila merasa malu, tapi setelah dua hari kemudian mereka tak juga menghentikan ledekannya, Maila pun merasa jengah.

"Demen banget ngeledekin gue terus! Nggak lo, nggak orang rumah, nggak Handi. Sampai siluman buaya juga ikut-ikutan," sungut Maila. Tangannya sibuk mengoles pelembab di wajahnya.

"Rio? Lo ketemu Rio di mana? Kapan?" Rezi melupakan tujuan awalnya, yaitu mandi. Langkahnya berbelok menuju meja rias di mana Maila tengah duduk sembari berkaca. Handuk di pundaknya bahkan ia lempar ke ranjang.

"Kemarin, pas gue belanja ke Indomana. Nggak sengaja ketemu di sana," Maila terlihat sebal mengingatnya. "Lo tahu, dia bilang gimana?"

Rezi menggeleng otomatis.

"Begitu lihat gue, dia langsung bilang kalau dia emang ganteng sempurna, tapi gue disuruh jangan lupa kalau sekarang gue udah punya suami. Jadi, gue nggak boleh terpesona lagi sama dia. Astaga! Kapan gue pernah terpesona ama diaaa?!" Maila menjerit frustasi sembari menggetokkan jari di meja rias. "Yang ada gue eneg lihat muka dia!"

"Mana ngomongnya keras banget di depan kasir, udah gitu lagi rame yang antri. Dosa nggak sih kalau gue pengen kirim dia ke Kenya? Biar dia bisa tebar pesona ke satwa di sana."

Rezi yang semula merasa sedikit cemburu saat mendengar sang istri menyebut nama lelaki lain, sekarang justru tak dapat lagi menahan gelak tawanya.

"Sayang duitnya, lah. Mending buat kita honeymoon," timpal Rezi di sela tawanya.

Mendengar itu, raut wajah Maila yang tadinya emosi membara mendadak termenung. Dan hal itu tak luput dari pandangan Rezi.

"Kenapa? Ada yang ganggu pikiran?" tanya Rezi lembut.

Maila merenung, tak kunjung menjawab.

"Bilang sama gue, Mai," desak Rezi yang kini berdiri di belakang Maila. Kedua tangannya mengusap bahu Maila dari belakang, memerhatikan wajah sang istri melalui cermin rias di depan mereka.

"Zi, lo nggak ada niatan buat ngajakin gue bulan madu? Nggak usah yang jauh-jauh, alapagi sampai ke luar negeri. Yang deket-deket sini juga nggak masalah," tanya Maila, terkesan hati-hati.

Usapan di bahu Maila terhenti. Rezi menatapnya tak mengerti. "Kita udah bahas ini, kan? Kita sepakat kalau dalam waktu dekat ini kita nggak akan bulan madu ke mana pun. Lo tahu, gue harus cuti lagi buat acara kita di Wonosobo. Gue belum ada waktu buat bawa lo ke mana-mana."

"Nggak usah yang jauh. Yang deket aja, misal Lembang gitu. Kita bisa ke sana pas weekend, kita berdua sama-sama libur. Bulan madu yang benerannya bisa nanti kalau lo udah luang," tawar Maila.

Rezi terlihat tak setuju.

"Bahkan yang deket kayak gitu pun lo nggak mau?" Maila kecewa.

Rezi menghela napasnya, bergerak menjauh. "Tolong, ngertiin gue."

"Gue nggak ngerti di bagian mana? Gue nggak minta di ajak ke Maldives, ke Raja Ampat atau Pulau Jeju. Bahkan seandainya pun lo cuma ngajakin gue staycation di Ancol, gue tetep terima, kok."

"Tolong ngertiin gue dengan nggak minta bulan madu dulu," Rezi kembali menegaskan.

"Kenapa? Lo segitu nggak maunya pergi berdua sama gue?" Maila sepertinya mulai menjelma menjadi istri yang sesungguhnya, yaitu mudah overthinking pada suaminya.

Rezi meremas rambutnya frustasi. Dihampirinya Maila yang kini berdiri di depan meja rias, menatapnya kecewa. Diraihnya bahu Maila, diremas pelan.

"Mai, gue nggak sanggup pergi berduaan sama lo. Nginep hanya berdua, seharian berduaan terus. Gue rasa gue nggak sanggup."

"Kenapa?"

"Kenapa? Lo nggak bisa peka dikit?" Tanya Rezi heran. "Gue laki-laki normal, Mai. Punya nafsu sama perempuan. Berada di dekat lo otomatis bangkitin nafsu gue. Apalagi tidur sambil pelukan sama lo."

Maila tercengang. "Gue nggak pernah minta pelukan, ya!" bantahnya.

"Iya, itu gue yang minta. Ya gimana, cuma sebatas itu 'kan sentuhan yang lo ijinin?" Rezi mengakui.

"Tapi 'kan, lo udah setuju. Lo bilang sendiri kalau lo mau nungguin gue siap," Maila masih tak terima.

Rezi tersenyum miris. "Maka dari itu, jangan minta bulan madu dulu ke gue."

"Gue nggak ngerti. Apa korelasinya? Oke kita memang dalam rangka bulan madu. Tapi, kan, itu cuma kiasan aja. Aslinya kita cuma liburan berdua. Ganti deh, kata-katanya, bukan bulan madu tapi liburan," ujar Maila polos, tak menyadari bahwa suaminya kini semakin frustasi.

"Begini, Mailaku sayang," Rezi menarik napas panjang. "Di rumah ini aja, yang ada banyak orang, yang kesempatan kita berduaan cuma malem pas di kamar doang -itu pun kadang lo masuk kamar udah larut gegara nonton drama dulu di kamar Sera- gue masih suka kewalahan ngendaliin nafsu gue pas lihat lo. Gimana kalau kita bulan madu atau liburan apalah itu, cuma berdua? Gue nggak yakin gue sanggup nahan diri lagi, Mai. Di sana hanya ada kita berdua, seharian berdua. Mana lo kalau tidur demen banget pakai celana pendek. Bikin lemah iman aja!"

Setelah mengatakan alasan yang begitu panjang itu, Rezi lantas meraup kedua sisi wajah Maila, membuat mulutnya monyong. "Ngerti, kan, sekarang? Nggak minta bulan madu lagi, kan, sebelum lo siap?"

Maila melepas tangan Rezi dari wajahnya saat hendak bicara. "Kita bisa pesen dua kamar kalau gitu. Biar lo nggak lemah iman."

"Nggak!" tolak Rezi seketika. "Pokoknya kita nggak akan kemana-mana dulu."

"Tapi-"

"Nggak, Mai. Gue nggak setuju."

"Please...," Maila memohon sembari menggoyang-goyangkan lengan Rezi dan menghentakkan kakinya, seperti yang dulu ia sering lakukan kala membujuk Babe Mardi sewaktu masih SD.

Rezi tak bergeming, membuat gerakan Maila semakin heboh

"Oke," Rezi menyerah dan Maila semringah. "Tapi, lo tahu 'kan resikonya? Siap menanggung resiko?"

Tangan Rezi terhempas seketika.

_____________

nona gesrek dan pemuda patah hatiWhere stories live. Discover now