44. Demam yang Meresahkan

Start from the beginning
                                    

Zilva hanya bisa mengedikkan bahu. Tangannya dengan segera membuka bungkusan itu dengan senyum lebar. "Uwah, pempek. Kak Christ memang terbaik!"

Gadis itu melahap dengan senang. Kebahagiaannya sungguh sederhana, hanya diberi makan ia sudah senang. Dengan masih mengunyah pempek, ia melanjutkan drama yang ia tonton di ponsel.

Pintu utama yang terbuka setengah dengan tiba-tiba terbuka lebar karena di buka kasar oleh seseorang. Zilva tersentak mendengar dobrakan pintu itu. Ia keluar dari kamar dan berjalan perlahan: takut jika ada maling yang membawa benda tajam.

"Astaga, ngagetin aja! Biasa aja dong buka pintunya!" teriak Zilva heboh.

"Kamu gak apa-apa?"

"Kak Levi katanya malam ini gak pulang?"

"Mau lihat keadaan kamu dulu."

Levi berjalan mengelilingi tubuh Zilva yang berdiri menatapnya heran. Hingga akhirnya ia berhenti setelah beberapa saat. Tangannya terulur menyentuh kening Zilva.

Zilva menepis tangan Levi kasar. "Ngapain pegang-pegang?!"

Levi menarik ke belakang semua anak rambut yang terjatuh di wajah Zilva dengan sekali tarikan hingga kulit gadis itu sedikit tertarik. "Katanya kamu sakit? Aku paling benci penipu loh."

"Aku beneran sakit. Tapi udah sembuh sejam yang lalu, sih. Aku kalau demam emang gak lama, Kak Levi."

Laki-laki itu melepas tangannya dan mengembuskan napas lega. Ia berjalan ke kamar untuk berganti pakaian dan merebahkan tubuh sejenak.

Zilva yang tak tahu apa-apa kembali menonton drama dan menyendokkan pempek ke mulutnya. Terkadang rasa kuah asam membuat wajahnya menciut beberapa detik.

Setelah beberapa saat kemudian ia sadar, ada hal yang ingin ia diskusikan dengan Levi. Dengan cepat ia beranjak dan berlari ke kamar sebelah. Masuk tanpa mengetuk membuat Levi terkejut.

"Biasain kalau mau masuk, ketuk pintu dulu."

"Pintunya kebuka," ucapnya cepat, kepalanya menggeleng, "lupakan tentang ketuk pintu. Aku mau diskusiin sesuatu sama Kak Levi."

Levi beranjak dan berjalan ke arah kamar mandi. "Nanti setelah aku mandi."

Mulut Zilva maju beberapa senti, cemberut. Karena sudah kehilangan minat untuk menonton drama lagi, ia berjalan ke teras rumah kemudian mendudukkan dirinya di kursi kayu.

Beberapa menit telah berlalu. Pikiran gadis itu melayang entah kemana. Otaknya benar-benar random. Terkadang ia tertawa kecil saat mengingat ketika ia masih SMK. Terkadang juga wajahnya menjadi murung karena teringat wajah Gabriel yang sudah lama tidak ia lihat.

Levi yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil melihat Zilva dan mendekatinya. Ia duduk dan menatap Zilva dari samping dengan lekat. Sedangkan Zilva sendiri tak sadar jika Levi di dekatnya.

"Jadi, mau diskusi tentang apa?" tanya Levi.

Zilva menoleh dengan cepat. Matanya mengedip beberapa kali dengan polos. "Apa, ya?" Ia menggaruk kepalanya tak gatal.

"Sayang banget waktuku kebuang sia-sia seperti ini. Percuma tadi aku menyelesaikan pekerjaan dengan cepat."

Zilva kembali mengerucutkan bibirnya sebal. Ia kembali menggaruk kepalanya gemas karena lupa. Setelah beberapa saat ia berteriak singkat, "Ah, iya!"

"Apa?" tanya Levi dengan tangan masih mengeringkan rambut.

"Gabriel dua minggu lagi kan mau wisuda, aku mau kasih dia sesuatu."

"Terus? Kamu butuh duitnya? Minta berapa?" tanyanya enggan.

Zilva menatap Levi kesal. "Enggak, bukan uang yang kuminta, Kak. Aku punya duit sendiri. Masalahnya cuma satu, barang apa yang mau kukasih ke dia?!" Ia berteriak frustrasi.

"Selamat berpikir, Zilvania," jawab Levi cuek.

"Ish, Kak Levi mah. Aku kepikiran sama satu hal. Kira-kira dia punya mainan atau benda yang dia sukai dari kecil nggak, Kak? Contohnya kek aku yang suka boneka beruang dari kecil sampai sekarang. Mungkin Gabriel juga punya, gitu?"

Levi terdiam. Zilva yang merasakan atmosfer tak nyaman itu jadi ikut terdiam. Ia memikirkan dengan keras apakah ia menanyakan hal yang salah.

Angin malam menerpa kedua wajah yang sedang duduk diam itu. Selama beberapa menit Levi terdiam, Zilva menjadi gelisah sendiri karena laki-laki itu tak kunjung membuka mulutnya.

"Anu, Kak Levi. Buket bunga apa yang cocok buat Gabriel, ya?" Zilva berniat untuk mencairkan suasana hening itu.

"Begini, Zilva. Asal kau tahu―"

"Kalau Kak Levi gak mau cerita, aku gak maksa."

Levi memandang Zilva tak suka. "Kebiasaanmu yang suka motong ucapan orang itu gak baik."

Gadis yang umurnya sudah lebih dari kepala dua itu menunduk. "Maaf."

"Asal kau tahu, aku dan Gabriel gak akur waktu kecil. Jadi, aku gak tahu benda apa yang jadi kesayangannya dari kecil."

Kini giliran Zilva yang diam. Gadis itu sedang berusaha untuk menelan fakta yang baru saja ia dengar.

"Kayaknya memang lebih baik kalau Gabriel sendiri yang cerita ke kamu."

Levi pergi meninggalkan Zilva sendirian di kursi dengan embusan angin malam yang semakin menusuk kulit.

Setelah beberapa saat, Zilva bergumam, "Tunggu bentar, Gabriel aja gak pernah cerita gimana kita bisa pacaran, apalagi masalah saudara yang berat kek gini malah lebih ogah dia cerita."

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

*Maap banget nih kek-nya aku slow update dulu. Mood-ku lagi turun buat ngelanjutin ceritanya 😭

Boyfriend In My DreamWhere stories live. Discover now