After : Empat Puluh sembilan

Comenzar desde el principio
                                    

Wajah Yanto menegang ketika mendapati pesan dari Dodi. Dengan cepat ia mengganti layar chatting menjadi panggilan.

Tidak lama panggilan tersambung.

"Kapan?!"

Tanyanya ketika panggilan baru saja tersambung. Nadanya panik yang bercampur kaget.

"Apa?! Lalu sekarang bagaimana? Apa saya beritau saja?"

Yanto melirik Abila yang masih memejamkan matanya.

"Oh, baik. Akan saya usahakan. Terimakasih."

Yanto memasukan ponselnya lagi pada saku jasnya lalu melirik Abila kembali. Yanto menghela. Ia memijat keningnya dengan raut wajah yang sukar.

Lima belas menit kemudian mereka sampai. Abila beserta Yanto langsung menuju lantai lima di mana ruang persalinan berada.

Kakinya masih bisa melangkah dengan tegak tanpa ragu. Ia sudah bisa berdamai dengan teman-temannya dan ia juga harus bisa berdamai dengan Lio dan juga Aruna. Ya, harus.

Yanto menunjukan satu ruangan VIP dan keduanya langsung masuk kedalam dengan Yanto yang mengetuk pintu itu dulu sebelum masuk.

"Assalamualaikum." salamnya.

Tubuhnya mematung. Di depan ada banyak sekali orang yang menatapnya terutama Lio yang terdiam seribu bahasa.

Abila menyiapkan diri sebelum menyalimi Tasya, Gibran dan juga bundanya. Ia berdiri di sisi branka yang mana ada Aruna dengan tangannya yang terbalut jarum infus.

Abila tersenyum melihat Aruna yang diam tapi matanya berembun. Tanganya menyentuh kepala Aruna, mengusap rambut hitam Aruna yang berantakan.

"Runa sehat?" dua kata itu yang keluar dari mulutnya setelah lama mengusap rambut adik tirinya.

Aruna mengangguk. Air mata lolos dari pelopak kirinya. Apa ini rasanya penyesalan yang sangat dalam? Apa begini rasa sakit yang sebenarnya?

Hatinya benar-benar terasa di tusuk oleh belati tajam secara terus menerus. Dadanya sesak melihat senyum itu. Senyum gadis yang hatinya, raganya dan jiwanya sudah ia lukai secara tidak berperasaan.

Sesegukan kecil dari bibir Aruna terdengar. Pelopak matanya kini sudah penuh dengan air mata yang bahkan sudah mengalir di pipinya.

Dengan senyum yang tidak pernah luntur dari bibirnya Abila mengusap pipi mulus Aruna. Membersihkan air mata agar tidak memenuhi pipi adiknya.

"K-Kak..." panggil Aruna lirih dengan suaranya serak.

Abila mendekatkan tubuh pada Aruna.

"Iya, kenapa? Apa yang sakit?"

Aruna menggeleng lemah.

"Bilang sama Bila, apa yang sakit? Perutnya masih sakit, iya?" khawatirnya.

Sekali lagi Aruna menggeleng. Aruna melepaskan tangan Lio yang sedang memegang tangannya yang bebas dari jarum infus. Mengarahkan pada dadanya dan sedikit di tepuk-tepuk.

"Dada gue sesek, Kak..."

Abila mengangguk-angguk. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan untuk hal ini.

Tangannya ikut memegang tangan itu, memberhetikan agar tidak semakin membuat dadanya sakit.

"Maafin gue ... Gue banyak salah sama, lo..."

"Maaf untuk semuanya, Kak..."

Abila merespon dengan senyum lalu mengangguk. Ia mengusap pucuk kepala Aruna lagi. Bibirnya seakan terkunci rapat hingga tidak bisa menjawab apapun.

After that [Selesai]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora