After : Empat Puluh Tujuh

752 68 12
                                    

Bila membahas rasa tentang sebuah pertemanan, akan sulit. Pertemanan di atas segalanya tapi rasa pertemanan itu bisa saja kalah dengan sebuah kata 'cinta'. Mustahil seseorang mengalah karena cinta dan mustahil juga cinta mengalah karena teman.

Sama seperti sekarang yang sedang di rasakan oleh Raka. Dirinya gunda gulana memikirkan keadilan ayahnya. Jika dirinya menyerahkan bukti yang berhasil di kumpulkan oleh suruhan Abila, mungkin saja Jafran akan bahagia di atas sana karena keadilan telah di tegakkan.

Tapi...

Pelakunya adalah ayah dari temannya sendiri. Sebenarnya tidak ada sangkutannya antar keadilan sang ayah dengan Dava. Namun, kembali lagi pada ego. Ego Dava pasti terluka jika tau ayahnya adalah seorang pembunuh.

Raka berhasil mengalahkan kemurkaan dalam hatinya demi Dava. Demi persahabatan mereka agar tidak berpecah. Seminggu ini dirinya berhasil mengalahkan semuanya dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.

Abila juga berperan cukup banyak sampai saat ini. Gadis hebat itu bisa membantunya dalam segala hal termaksud mengendalikan emosi. Bahkan, dua hari lalu Raka tidak sengaja menampar Abila karena saat itu dirinya sedang banyak pikiran sampai membayangkan jika Abila yang saat itu mencoba mengendalikan dirinya adalah Ares, ayah Dava.

Dan sejak saat itu Raka merasa amat bersalah dan mencoba menjaga jarak dengan Abila.

Seperti saat ini. Abila sedang duduk diam di atas kasur dengan pandangan kosong. Ini hari kedua Raka hilang. Hilang kontak darinya.

Raka tidak mengabarinya sama sekali. Raka bagai di telan bumi dan di sembunyikan di dasar bumi paling dalam. Laki-laki itu, entah sekarang di mana dan sedang apa Abila tidak tau.

Abila sudah mencoba menghubungi Raka tapi ponselnya mati. Jayden pun sama. Ponsel dua laki-laki itu tidak aktif. Seakan mereka berdua bekerja sama untuk menghilangkan jejak.

"Apa Raka marah karena Bila terlalu ikut campur, ya?"

Abila membuang napasnya. Ia memijat keningnya sendiri yang terasa sakit. Sakit sekali. Ingin tidur tapi tidak bisa, ingin minum obat, tidak tau obat apa yang harus ia minum.

"Pak Yanto juga kenapa tumben banget lelet. Biasanya kalo masalah nyari hal semacam ini ga sampai satu jam udah tau alasannya. Tapi kenapa nyari kabar Raka aja ga ketemu sampai dua hari?" monolognya sendiri.

Abila akui Yanto lambat dalam masalah ini. Abila sampai kesal dengan Yanto karena ini. Bahkan Abila mogok bicara dengan Yanto dan hanya mau berinteraksi dengan Dodi saja.

Abila menghela napas lagi. Ia beranjak dari duduknya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Kakinya berhenti di depan kaca, memandang wajahnya yang kusam karena tidak di rawat.

Jangankan merawat wajah, pekerjaannya saja terbangkalai. Abila tidak bisa fokus bekerja dengan keadaan hati dan pikiran yang sedang berantakan. Katakan saja dirinya tidak profesional tapi memang itu nyatanya.

Abila membasuh wajahnya dengan air mengalir. Membiarkan seluruh permukaan kulitnya terkena air. Ia mengambil handuk kecil khusus untuk muka lalu di sapukan pada wajahnya.

Selesai. Abila keluar kamar mandi. Duduk kembali di atas kasur, mengambil ponsel yang tergeletak tidak jauh dari dirinya duduk.

Abila mengambilnya, ada pesan masuk dari Raka.

Tunggu, Raka?

Dengan senyum mengembang Abila membuka ponselnya. Akhirnya Raka menghubunginya setelah lama di nanti. Senyum Abila tidak putus ia bahagia sekali.

Pesan di buka. Alangkah kaget dan terkejutnya Abila saat membaca beberapa lintir kata di layar ponselnya. Mulutnya tertutup rapat, hatinya remuk dan matanya mengembun. Ini bukan kabar yang di harapkan oleh Abila, bukan.

After that [Selesai]Where stories live. Discover now