After : Sepuluh

1K 93 1
                                    

Malam yang indah yang penuh dengan bintang. Malam ini, di bawah naungan atap rumahnya, Abila tengah di sibukkan dengan berbagai dokumen milik perusahan.

Di pukul dua belas malam, Abila masih terjaga dengan mata yang terbuka lebar memandang leptop putihnya. Setelah selesai dengan tugas sekolahnya, gadis itu dengan penuh tangung jawab melanjutkan tugasnya sebagai seorang pemilik suatu perusahaan ternama yang harus setiap saat memeriksa perkembangan perusahaan miliknya.

Bagaimana pun kondisinya, sekolah adalah hal yang paling penting untuknya dan untuk seluruh anak manusia di bumi ini. Karena sekolah adalah jembatan untuk mereka menuju bangku perkulihaan. Sukses.

Membahas tentang perkuliahan, untuk Abila sendiri, ia belum tau pastinya akan kuliah atau tidak setelah lulus. Tapi, yang sudah pasti dan jelas akan terjadi adalah takdirnya yang tidak akan bisa di alihkan yaitu sebagai pewaris tunggal kekayaan ayahnya.

Kuliah tidaknya ia, dapat di pastikan jika besarnya Abila akan menjadi seorang pengusaha dan itu sudah hak paten yang akan terjadi.

Sejujurnya, jiwa Abila tidak ada di perusahaan. Abila lebih menyukai dunia desain namun kembali ke alam sadar, ia sudah tidak bisa pergi kemana-mana untuk masa depannya.

Abila, gadis berpiyama itu menggerakan tubuhnya asal, mencari kenyamanan untuk meluruskan otot-ototnya yang terasa pegal.

Abila menumpuh kepalanya dengan kedua tangan yang ia tempelkan pada dagunya sendiri, memandang layar laptop dengan dahi yang berkerut.

"Kok ga balance, ya?" gumma Abila ketika sadar jika hasil pengeluaran yang ia dapatkan dari Yanto berbanding jauh dengan hasil perhitungannya sendiri.

Abila mengambil ponselnya, berniat ingin menelpon Yanto namun tidak jadi karena sadar ini jamnya orang istirahat. Dengan segala kegelisahannya, Abila kembali berkutat pada laptop untuk membenarkan semua keuangan yang melenceng jauh dari perhitungannya.

"Masa di korup, sih?" gummanya lagi sambil garuk kepala.

Abila melirik jam di dinding, sepertinya sudah waktunya ia untuk tidur. Abila mematikan leptopnya tentu sudah menyimpan data yang ia buat. Gadis itu sempat melirik kalender meja dan terdiam karena sadar jika dua hari lagi adalah waktunya ia melakukan tatapan wajah dengan para rekan kerja antar perusahaan.

Abila menghela, berjalan pada kasurnya dan duduk di tepi kasur, "Kalo sampai beneran korup, Bila ga segan-segan buat masukin orang itu ke penjara."

AT

Gitar berwarna hitam itu di letakan di sisi tembok dekat dengan lemari pakaian. Dava sebagai pemilik gitar memilih menyudahi aksi mainnya di pukul satu malam.

Gitar adalah alat musik yang sangat Dava kuasai. Selain basket, Dava juga suka menyalurkan hobinya di bidang petik senar. Suaranya memang tidak sebagus Afgan. Tapi keahliannya dalam bermain gitar pun tidak boleh di ragukan.

Laki-laki berkaus singlet dengan celana pendek berbahan katun itu berdiri di depan cendela kamar yang terbuka. Rumahnya sepi, hanya ada dirinya seorang saja di sini. Kedua orang tuanya sedang ada di kalimantan, mengurus proyek mereka.

Dava? Laki-laki berumur sembilan belas tahun itu sudah sangat terbiasa di tinggal seorang diri di rumah. Dan, kesempatan itu di manfaatkan oleh Dava untuk bermain gitar sepuasnya tanpa takut mengangganggu tidur kedua orang tuanya.

Dava menarik napas panjang lalu membuang napas itu secara perlahan dengan mata yang terpejam. Angin malam memang cukup sejuk tapi angin malam pun bisa sangat berbahaya bagi sebagian orang.

After that [Selesai]Where stories live. Discover now