Bab XIX

1.4K 139 6
                                    

Tak terasa hari demi hari terlewati. Altas, bayi tersebut kini sudah bisa berjalan walau terkadang masih terjatuh. Ucapannya pun sudah mulai fasih, tapi tingkat keaktifan bayi tersebut kian meningkat membuat Aretha dan Rafa kewalahan.

"Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumussalam!" jawab Aretha.

Rafa mengacak-acak rambutnya yang basah oleh keringat. Dirinya tersenyum ketika melihat anaknya yang turun dari sofa dan berjalan ke arahnya.

"Pa ... Pa!"

Rafa tertawa ketika Altas terjatuh ketika sampai setengah jalan. Tak ada niat sama sekali untuk menolong bayi tersebut. Menurutnya, ini adalah hiburan tersendiri baginya.

"Ma! Pa!" Altas berusaha berdiri kemudian berjalan ke arah Aretha yang membawa semangkuk MP-ASI.

"Papanya nakal, ya? Nggak ditolong Altasnya." Aretha memegang tangan Altas tapi langsung ditepis oleh bayi tersebut.

"Lihat, tuh! Mana mau dia digandeng. Sombong memang. Udah jalan sering jatuh, sok-sokan lagi."

Aretha tertawa ketika melihat Altas kembali terjatuh. Rafa tersenyum miring, kemudian memeluk tubuh Aretha yang sudah berada di sofa.

"Al, Mama kamu Papa ambil, nih!" Rafa mengeratkan pelukannya kemudian mencium pipi Aretha bertubi-tubi.

"Lengket, Raf." Aretha berusaha menyingkirkan tubuh Rafa agar laki-laki itu menjauh.

"Tapi wangi," sahut Rafa.

"No! No, Pa!" Altas berusaha menyingkirkan tubuh Rafa dari ibunya. Altas memukul-mukul kepala Rafa meskipun hasilnya tak ada.

"Ini istri aku. Kamu sama meong sana! Datang terakhir, suka monopoli lagi." Rafa kian mengeratkan pelukannya pada Aretha.

"Raf! Awasin tangannya! Ini mau nyuapin Altas," ucap Aretha jengah dengan kelakuan bapak satu anak ini.

"Suapin tinggal suapin," jawab Rafa acuh. Laki-laki itu kian mengeratkan pelukannya pada Aretha membuat bocah belum genap berumur satu tahun menangis.

"Ma ... Ma, Tas!"

Rafa mendengus ketika anaknya selalu mengeluarkan jurus andalannya, menangis. "Udah, cengengnya dah keluar."

Aretha meletakkan mangkuknya, kemudian menggendong Altas ke dalam dekapannya. Jika seperti ini terus terjadi, bisa-bisa Altas tak mau makan gara-gara ulah sang ayah.

"Anak Mama kok nangis? Papanya udah lepas tu!" Bayi tersebut menegakkan badannya, dan benar saja, Papanya sudah melepaskan lilitannya pada tubuh ibunya. "Makan terus mandi, ya."

"Belum mandi? Pantesan tadi Papa cium bau asem, Altas ternyata."

Aretha menyuapkan sendok pertama ke mulut Altas. Bayi tersebut menerimanya, tapi siapa sangka malah menyemburkan makanannya ke arah ayahnya.

"Abbu! Bu!"

"Kok di sembur?" Aretha mengusap pipi Altas sambil tertawa ketika melihat wajah masam suaminya. "Sama-sama jahil."

Altas turun dari pangkuannya, kemudian berjalan ke arah meja membuat Aretha terpekik ketika lagi dan lagi bayi tersebut terjatuh.

"Mau ke mana, Altas?!" Aretha hendak berdiri, tapi langsung ditahan oleh suaminya. "Kenapa sih, Raf?!"

Rafa mendengus. Laki-laki itu mendekatkan hidungnya ke leher Aretha, kemudian menghirup aroma tubuh Aretha dengan dalam. "Altas udah setahun, 'kan? Buat adik, ya? Biar rame."

Mata Aretha terbuka dengan lebar. "Jangan ngaco kalo ngomong!"

"Pa! No, Ma!" Altas menggigit dot susu dengan wajah marah. Bayi tersebut berusaha keras berjalan agar sampai di depan sang ayah.

Trust Me Aretha (Republish)Where stories live. Discover now