After : Sembilan Belas

Start from the beginning
                                    

"Kalo guru dateng bangunin gue, ya."

AT

Bel istirahat berbunyi. Abila dan Keira berjalan dengan terburu menuju kantin tepatnya meja dan beberapa stans yang tadi mereka kunjungi.

Abila terlihat panik. Keira pun sama paniknya. Mereka berdua sampai di kantin dengan napas terenggah. Keduanya membagi tugas dengan Abila yang menyusuri meja tempat mereka duduk tadi sedangkan Keira menuju stans makanan.

Abila dengan panik berjalan kearah mejanya dan Keira tadi. Meja yang mereka tempati sebelum bel masuk berbunyi. Di tempat itu rupanya ada Arya dan dua temannya yang sedang duduk menikmati makanan mereka.

"Permisi," ucap Abila.

Tiga orang di tempat menoleh pada Abila. Alis mereka bertautan seolah berkata 'ada apa?'

"Kalian ada lihat HP Bila, ga?"

"HP? Enggak tuh. Kita duduk ga ada apa-apa." jawab Rojak.

"Type apa?"

Abila menonggak menatap sosok laki-laki yang beberapa hari ia temui, "Samsung."

"Yaelah, samsung doang. Beli lagi aja sana, paling tiga jutaan." remeh Syaid.

Arya menatap Syaid tidak suka. Syaid memang seperti itu, selalu meremehkan seseorang dan menilai apapun itu dengan uang.

"Bukan masalah HPnya. Tapi datanya." Abila kembali membela diri. Memang benar bukan masalah ponselnya, data di dalamnya jauh lebih penting dari pada ponselnya sendiri.

Jika ponsel, Abila bisa dengan mudah membelinya lagi bahkan segudangnya pun Abila bisa membelinya. Ini data, data perusahaan. Semuanya ada di ponsel.

"Paling cuma foto selfi." Rojak menyambar.

Abila menghel napas. Percuma saja bertanya pada laki-laki seperti mereka, tidak akan ada gunanya.

"Mau gue bantu cari?"

Abila menggeleng. Menolak halus tawaran Arya.

"Yaudah, Bila permi-

"Bil, Bil. Bila!"

Keira lari lalu berhenti di samping Abila. Mengatur napasnya sebelum mengatakan tentang keberadaan ponsel milik Abila.

"Kenapa?"

"HP lo. HP lo ada di kantor guru. Tadi suaminya yang jual soto nemuin HP lo di atas meja terus langsung di kasih ke kantor guru."

"Cepat samperin sebelum HP lo di geledah sama guru piket. Sukur-sulur HP lo ga ada vidio-

"Apaan, sih. Bila ga ada nyimpin vidio begituan!" kesal Abila. "Yaudah, Bila duluan, ya, Kei. Makasih bantuannya!"

Gadis dengan rambut di ikat satu itu berlari sekencang mungkin meninggalkan Keira yang masih ada di antara Arya dan dua temannya.

"Heboh banget sih! Tinggal beli lagi aja juga." Rojak kembali bersuara. Tujuannya sama, merendahkan.

"Kok bisa ketinggalan sih? Dia lupa apa gimana?"

Keira melirik Arya yang baru saja melontarkan pertanyaan.

"Tadi pagi dia buru-buru masuk kelas, karena jamnya guru killer jadi sampai lupa kalo dia ninggal HP di sini."

"Dasar cewe, ceroboh."

Keira melempar Syaid dengan tempat tusuk gigi yang ada di atas meja, "Dasar cowo, mata keranjang!"

"Dih...sok kenal. Siapa lo?"

Mata elang Keira menatap Syaid dengan sinyal permusuhan, "Sok kenal-sok kenal. Gue jambak rambut lo sampai pitak, tau rasa lo!" emosi Keira meluap.

Syaid tersenyum tanpa dosa, "Hehehe, maaf."

"Gue pecat jadi sepupu tau rasa lo!"

Arya dan Rojak saling tatap. Apa-apaan ini, kebenaran apaan yang baru saja mereka dengar. Tidak salah dengar bukan? Barusan, Keira menyebut Syaid sebagai sepupunya? Benar?

"Maksud lo?" Arya menatap Keira penuh tanya. Di wajahnya terlihat jelas laki-laki itu penasaran dengan kebenaran temannya.

"Ya, Syaid sepupu gue. Emaknya Adek bokap gue."

AT

Abila saat ini ada di ruang guru tepatnya di hadapan guru killer yang sesungguhnya. Guru yang terkenal dengan kepedasan bicara dan keingintahuan yang mendarah daging ini adalah wakil kepala sekolah yang awalnya seorang guru bahasa arab.

Bu Witri. Guru berhijab dengan warna dasar hitam itu kini sedang menatap Abila menggunakan pandangan penasaran yang begitu dalam. Apa lagi di tangannya ada ponsel sultan milik Abila yang sejak tadi tidak di lepaskan.

"Maaf Ibu, boleh saya minta ponsel saya?"

"Boleh, asal kamu jawab pertanyaan saya dulu,"

"Baik, Bu."

Bu Witri mendorong ponsol Abila mendekat pada pemiliknya. Abila hampir mengambil namun kalah cepat dengan gerakan bu Witri.

"Mengapa ponselmu bisa ada di meja kantin?"

Sudah jelas tertinggal, mengapa masih di tanyakan.

"Ketinggalan, Bu. Tadi saya buru-buru karena bel sudah bunyi." jawab Abila jujur.

"Maaf kalau saya lancang karena sudah periksa ponselmu,"

"Ibu buka ponsel saya?" tanya Abila sedikit kaget. Pasalnya ia memang tidak memasang pengaman ponsel. Abila membiarkan ponselnya bebas tidak di beri sandi apapun.

"Iya. Karena ponsel kamu tidak di kunci, saya dengan mudah bisa membuka semua aplikasi yang ada di ponsel kamu."

Abila menyondongkan tubuhnya, "Maaf, Bu. Tapi Ibu tidak berhak untuk itu. Itu ponsel saya, milik saya." tegas Abila. Wajahnya datar seperti menahan amarah.

Bu Witri tersenyum miring, "Barang apa saja yang sudah masuk ke sini tidak akan di biarkan begitu saja. Kami harus mengeceknya lebih dahulu."

"Tapi-

"Kenapa? kamu takut?"

"Saya tidak takut."

"Jika begitu, bagus. Sekarang jawab pertanyaan saya yang selanjutnya."

Guru itu menatap Abila remeh. Pandangan mengejek yang benar-benar Abila tidak suka.

"Siapa Pak Yanto dan Pak Dodi?"

"Mengapa mereka membahas tentang sebuah perusahaan padamu?"

"Uang apa yang Pak Yanto kirim ke rekeningmu dengan nilai hampir seratus juta?"

"Siapa mereka? Apa mereka Om peliharaanmu, Abila?"

Dalam tunduknya Abila menahan marah. Atas dasar apa guru di depannya ini menyimpulkan jika dirinya adalah seorang wanita pemelihara?

"Apa ponsel ini kamu dapat dari cara menjual tubuhmu?"

After that

Hayooo!

Vote komennya yuk. Jauh banget turunnya nih

After that [Selesai]Where stories live. Discover now