BAB 35

985 180 7
                                    

Tatjana membuka matanya setelah matahari sudah kembali meninggi. Saat ia mendapatkan kesadaran, satu-satnya hal yang ia rasakan adalah sakit yang sangat menyengat pada tubuhnya, membuat sebuah ringisan terlepas dari bibirnya. Ia membuka mata dan sadar kalau sekarang dirinya sedang berbaring mengengkurup.

Bernapas dengan benar, kata Tatjana kepada dirinya sendiri. Karena sekarang, pikirannya mengingat alasan mengapa ia mendapatkan rasa sakit ini. Lalu, ia mengingat tatapan Derish yang sama sekali tidak mempedulikannya, sangat dingin dan tetap ingin menghukum Wahyuni.

Ditatapnya kamar tempatnya ini.

Apakah istana ini sudah biasa menghukum manusia seperti itu? Apakah tempat ini sudah biasa memperlakukan manusia, dan menghukumnya seperti hewan?

“Tatjana?”

Itu suara ibu Derish, ia mengenalinya.

Araya lalu duduk di sisi ranjang agar Tatjana bisa melihatnya. “Apa kamu merasa sakit? Kamu harus meminum obat untuk menghilangkan rasa sakitnya. Tapi sebelum itu, kamu harus makan terlebih dulu.”

Tatjana menangis dan Araya mengelus keningnya. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan tangannya sendiri karena takut akan membuat lukanya semakin sakit.

“Tante, di mana Mbak Wahyuni?” cicitnya.

“Wahyuni baik-baik saja di kamarnya, dia sangat ingin menemuimu tapi Derish tidak mengizinkannya,” jawab Araya lembut.

Tatjana menarik napasnya, setidaknya Wahyuni baik-baik saja. Setidaknya, dayang Nastiti tidak menangis lagi karena putrinya baik-baik saja.

“Apa hukuman seperti ini biasa dilakukan di dalam istana?”

“Hukum untuk melindungi keluarga kerajaan memang sangat keras karena tidak bisa diubah dan selama berpuluh tahun, tidak ada yang menjalani hukuman ini karena memang tidak ada yang pernah mencoba meracuni keluarga kerajaan. Hukuman ini baru pertama kali dilakukan dalam lima puluh tahun terakhir.”

Pikiran Tatjana kembali mengingat wajah Derish yang tidak peduli dan begitu dingin. Ia memejamkan matanya, berharap pikiran itu segera menghilang. Namun, ingatannya akan wajah Derish justru semakin terlihat jelas ketika ia menutup matanya.

“Mbak Wahyuni gak bersalah,” kata Tatjana pelan.

“Tante tahu, bahkan Derish juga tahu itu. Tapi ada yang menemukan zat guten di dalam kamarnya dan itu adalah bukti yang sangat kuat. Semalam Derish sendiri yang memberikan titah kalau kamu mendapatkan perlindungan sama seperti anggota kerajaan lainnya, membat Wahyuni harus mendapatkan hukumannya.”

Tatjana mengedipkan matanya karena itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan tanpa menyakiti dirinya sendiri. “Kalau Derish tahu kalau Mbak Wahyuni enggak bersalah, kenapa dia tetap menghukum?”

“Karena dia tidak boleh melanggar titahnya sendiri, dan karena tidak ada hal yang bisa membuktikan Wahyuni tidak bersalah” jelas Araya. “Dia adalah seorang calon raja dan apa yang ia ucapkan harus dilaksanakan.”

“…”

“Tante akan menelepon orangtua kamu dan menjelaskan keadaanmu sekarang,” kata Araya lagi.

Tatjana menggeleng. “Biar saya aja yang menelepon orangtua saya, Tante.”

“Kalau begitu, kamu harus makan, ya? Setelahnya minum obat.”

“…”

“…”

“Tante,” panggil Tatjana lagi, membuat Araya yang sedang menyiapkan makanan untuk Tatjana menoleh.

“Apa setelah minum obat, saya akan tidur lagi?”

Araya menganggukkan kepalanya.

Ya, ia akan tidur lagi.

Lebih baik tidur dan mengosongkan pikirannya daripada harus megingat hal-hal yang membuatnya merasa sakit melebihi sakit yang ia rasakan pada punggungnya.

φ

Keluarga kerajaan kembali melakukan makan malam bersama. Semua anggota keluarga hadir namun suasana malam ini terasa dingin dan canggung. Bahkan sang raja tidak mengatakan apapun dan hanya memakan makanannya.

Aghiya dan Ajinata yang biasanya banyak bicara juga hanya diam.

Sang raja diam-diam menatap Derish yang sama sekali tidak menyentuh makanannya. Wajah sang pangeran mahkota terlihat sangat lelah, seolah tidak beristirahat selama berhari-hari.

Setelah sang raja meminum air putihnya, ia tahu kalau dirinya harus mencairkan suasana. Ia berdeham dan berkata, “Bagaimana keadaan Ajeng Tatjana?”

“Sudah lebih baik, Yang Mulia,” jawab Araya. “Dia terlihat baik-baik saja. Memakan makanannya, meminum obat dan sama sekali tidak mengeluh.”

“Aku merasa sedih karena dia harus melihat dan merasakan hal yang tidak menyenangkan ketika berada di sini.”

Sementara Derish hanya diam. Ia tahu kalau Tatjana pasti akan bersikap baik-baik saja. wanita itu tidak akan pernah menunjukkan kesedihan ataupun kelemahannya di depan orang lain. Sudah dua hari berlalu dan Derish sama sekali belum menemui Tatjana. Ia hanya bertanya apa yang Tatjana lakukan kepada ibunya.

Ia tidak berani menemui Tatjana. Ia takut kalau Tatjana akan menatapnya dengan penuh kekecewaan.

Tadi ibunya mengatakan kalau Tatjana memakan makanannya, meminum obat dan tidak mengeluhkan apapun. Semua orang pasti berpikir kalau Tatjana sedang berusaha untuk penyembuhannya. Namun bagi Derish, kepatuhan Tatjana terhadap segala sesuatu justru membuatnya takut.

Selama ia mengenal Tatjana, wanita itu tidak akan pernah patuh dan selalu memiliki caranya sendiri. Dan Tatjana yang melakukan semua hal itu bukanlah wanita keras kepala yang ia kenali.

Derish tidak tahu seberapa lama ia termenung. Namun, ia tersadar dari lamunannya dan mendapati hanya tinggal dirinya dan sang raja yang ada di meja makan besar ini.

“Apa kamu belum menemuinya?” tanya sang raja.
Derish menggelengkan kepalanya.

“Sangat sulit menjadi seorang Raja kan, Raden Mas? Kita harus memiliki hati yang kuat, harus menjalankan apa yang harus kita jalankan meskipun itu tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Harus melakukannya meskipun itu akan menyakiti orang yang kita cintai.”

Ya, sangat sulit. Sangat sulit ketika ia harus mengabaikan Tatjana dan tetap mengayunkan cambuknya. Sangat sulit ketika ia harus mendapatkan kenyataan bahwa ia sudah mencambuk orang yang sangat ia cintai. Tatjana sudah membuktikan bahwa ia adalah wanita yang sangat keras kepala dengan melindungi Wahyuni dari cambukannya.

“Yang Mulia, kulo tidak tahu harus melakukan apa.”

“Ketika kamu tidak tahu harus melakukan apa, kamu cukup mendengarkan kata hatimu saja. Lupakan siapa dirimu dan ikuti keinginan hatimu,” jawab sang raja.

“Apa kulo terlihat egois jika tetap menginginkan Tatjana setelah kejadian ini?”

Yang mulia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak merasa kalau itu adalah hal yang egois. Derish sudah menemukan separuh hidupnya dan ia perlu memperjuangkannya.

“Kamu harus memperjuangkannya karena setelah kamu menduduki singgasana, kamu akan menyadari kalau satu-satunya hal yang paling berharga adalah cinta dari sepalih gesang, separuh hidupmu.”

φ

The Perfect BouquetWhere stories live. Discover now