BAB 34

892 178 8
                                    

“Lukanya berdarah tapi tidak dalam. Walaupun begitu, punggungnya memar dan akan sangat menyakitkan ketika dia mulai terjaga nanti,” kata dokter Marinda setelah ia selesai memeriksa luka Tatjana.

Beberapa bagian pada punggung Tatjana mengeluarkan darah karena kulitnya tergores akibat cambukan yang ia alami, sebagian lagi lebam dan sangat bengkak. Ia menatap Derish yang hanya diam sambil menatap Tatjana yang terpaksa harus tidur tengkurap karena luka yang ia miliki.

Karena ulahnya.

“Dia pingsan,” kata Derish.

“Karena dia merasa shock dan tidak bisa menahan rasa sakitnya.”

Araya yang juga berada di sana memegang punggung Derish. “Kamu harus menunggunya hingga bangun.”

Derish menggeleng. “Ibu yang harus menunggunya.”

Mata Araya menatap Marinda. Baru beberapa hari yang lalu ia bicara dengan Marinda untuk mengizinkan Tatjana dipindahkan ke Payon Omah Denawa dan sekarang, apa yang mereka bicarakan terjadi.

Beberapa hari yang lalu, mereka sempat membahas tentang Tatjana yang mungkin perlu beradaptasi dengan hukuman yang dimiliki oleh kerajaan ini.

“Raden Mas,” panggil Araya. “Kamu harus menjelaskan semuanya dengan Tatjana.”

“Kulo akan pergi dulu, Ibu,” kata Derish lalu melepaskan tangan ibunya pada bahunya dengan lembut. Sekali lagi ia menatap Tatjana yang sedang tertidur karena pengaruh bius kemudian ia berbalik untuk meninggalkan ruangan itu.

φ

Derish menuruni kudanya setelah ia tiba di Payon Omah Eyangnya. Di saat seperti ini, Derish sangat ingin berada di sekitar sang nenek untuk mendapatkan ketenangan. Baginya, siapapun tidak akan bisa menandingi semua kata-kata yang diucapkan oleh sang nenek.

Setiap perkataan neneknya selalu menenteramkan.

Ia bicara dengan dayang utama neneknya dan mengatakan ingin bertemu dengan sang nenek. Protokol kerajaan yang tidak memperbolehkan lelaki yang berusia lebih dari tujuh belas untuk memasuki Payon Omah wanita juga berlaku untuk dirinya.
Tidak lama, dayang utama mempersilakannya untuk menunggu di ruang depan, satu-satunya ruangan yang diperbolehkan untuk melakukan pertemuan.

Ia duduk dengan tatapan kosong sembari menunggu neneknya datang ke ruangan ini.

“Raden Mas.” Derish mengangkat kepalanya dan langsung berdiri untuk memberikan hormat kepada sang nenek.

“Eyang,” katanya. “Kulo sudah melakukan kesalahan. Kulo melukai sepalih gesang yang seharusnya kulo jaga.”

Ningsih memandangi wajah Derish yang terlihat sangat terluka, sangat terluka hingga siapapun bisa melihat kalau Derish dapat merasakan rasa sakit yang Tatjana rasakan. Ia tahu tentang kabar kalau Derish secara tidak sengaja mencambuk sepalih gesang-nya.

Ada beberapa hal yang akan sangat cepat menyebar di dinding istana ini.

“Cucuku, apa kamu merasa sakit karena yang kamu lakukan?” tanya Ningsih.

“Derish merasa sakit ketika melihat Tatjana harus merasa sakit karena ulah Derish, Eyang.”

Ningsih menyentuh tangan Derish, membuat Derish menatapnya. “Yang kamu lakukan itu benar karena kamu harus menjalankan titahmu meskipun kamu tidak menginginkannya. Eyang tahu, jauh di dalam hati kecilmu, kamu tidak mau melukai dayang itu. Derish, kamu tahu kalau sepaling gaesang sudah menemukan bagian lainnya, mereka tidak akan membiarkan yang lain merasa sedih.”

“Dan kulo gagal menjaganya,” jawab Derish sedih sambil menatap mata tua neneknya.

“Bagimu, kamu gagal. Tapi bagi sepalih gesang-mu, dia berhasil. Dia berhasil menyelamatkanmu dari menyakiti dayang itu, Derish. Walaupun mungkin dia tidak menyadarinya, cintanya tidak membiarkanmu melakukan apa yang tidak ingin kamu lakukan. Dia menyelamatkamu dari perasaan bersalah kepada dayang itu.”

Tapi ia merasa marah kepada dirinya sendiri. Ia merasa marah karena telah menyakiti Tatjana. Punggung Tatjana terluka olehnya dan luka itu pasti akan memiliki bekas. Ia tidak akan bisa melupakan perbuatannya dan Tatjana tidak akan bisa melupakan hari ini, setiap melihat bekas luka itu.

“Kulo sangat mencintainya, Eyang.”

“Eyang tahu. Semalam adalah kali pertama kamu mengeluarkan titahmu  dan itu kamu lakukan untuk melindungi sepalih gesang-mu.”

“…”

“Derish, saat Eyang melihatmu mebawa gadis itu, Eyang sudah melihat kalau ada ikatan yang tidak terlihat antara kalian. Tubuh kalian saling merespon satu sama lain. Eyang juga tahu kalau semalam, seisi Kadhaton menyambut Tatjana.”

Derish tidak menjawab apapun. Ternyata benar, tidak hanya dirinya yang menyadari kalau Kadhaton Balwanadanawa menyambut Tatjana semalam. “Eyang, kulo juga merasakan kalau Kadhaton menyambut kedatangan Ibu sejak dia meninggalkan istana ini.”

“Tidak banyak yang menyadari, Derish. Bahwa Kadhaton ini memiliki nyawa dan akan selalu menyambut siapapun yang ia anggap layak. Saat pertama kali Ibumu datang untuk menikah dengan Bapakmu, Kadhaton juga menyambutnya.”

“…”

“Tatjana sama seperti Ibumu ketika pertama kali datang ke sini. Dia tidak tahu apa-apa, Derish."

"..."

"Eyang memiliki pertanyaan, apa mungkin ikan yang hidup di air tawar untuk hidup di laut?”

Derish menggeleng. Ikan yang hidup di air tawar tidak akan bisa hidup di air laut karena itu bukan tempatnya. Jika ikan air tawar bisa hidup di air laut, untuk apa membagi habitat mereka seperti itu?

Derish tahu kalau pencipta sudah menempatkan setiap makhluk hidup di tempatnya masing-masing.
Itulah yang membuatnya menerima kehidupannya sebagai seorang pangeran mahkota, karena sang pencipta pasti sudah memutuskan yang terbaik untuk dirinya.

“Bisa,” kata Ningsih. “Ikan air tawar bisa hidup di lautan asalkan mereka melewati fase adaptasi. Walaupun begitu, fase ini adalah yang paling rentan dan sulit. Jika berhasil melewatinya, ikan itu bisa hidup dengan baik. Jika tidak berhasil, usahanya akan sia-sia.”

“Apa Eyang sedang memberikan pengandaian untuk Tatjana?” tanya Derish lembut.

Ningsih mengangguk. “Seharusnya Tatjana belajar tentang hukum dan kebijakan kerajaan ini sedikit demi sedikit karena dia harus beradaptasi. Tapi, dia sudah terlanjur melihat yang lebih besar.”

Derish menundukkan kepalanya, memikirkan apa yang neneknya katakan.

“Derish, kamu dan dia mungkin memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Bagaimanapun nantinya, kamu tidak boleh menyerah. Kamu sendiri yang menyebutnya sebagai sepalih gesang-mu. Kamu sudah memilihnya.”

φ

The Perfect BouquetWhere stories live. Discover now