BAB 23

1K 194 12
                                    

Raden Ayu Sekar berjalan di pagi hari untuk menemui seseorang. Seperti wanita kerajaan lainnya, wajahnya selalu menampakkan senyuman yang sangat cantik. Bahkan, karena senyumannya itu, mantan kelasihnya, Adipati Kala, kembali bertekuk lutut di hadapannya dan meninggalkan istrinya sendiri.

Senyumannya semakin dalam ketika ia menemukan orang yang ingin ditemuinya sedang berjalan menyeberangi taman istana bersama rombongan dayangnya. Ia melangkahkan kakinya untuk menemui wanita itu.

“Nariah,” sapanya. “Apa kamu sedang sibuk? Budhe mau mengajakmu untuk minum teh di Payon Omah Budhe.”

Nariah menatap Sekar. Mereka cukup dekat karena Sekar adalah satu-satunya sosok bibi yang ia miliki di istana ini setelah Araya pergi bahkan sebelum ia lahir ke dunia ini. “Kulo ndak terlalu sibuk, Budhe,” jawabnya.

Sekar tersenyum dan mengajaknya berjalan bersama. Ini adalah kawasan Payon Omah miliknya dan tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di teras depannya.

“Mari masuk,” kata Sekar sambil membuka pintu. Ia meminta para dayangnya juga dayang Nariah untuk menunggu di luar sementara mereka bicara di dalam. “Budhe akan menyiapkan teh.”

Nariah mengangguk dan duduk dengan tenang di kursi. Tak lama, Sekar datang sambil membawa dua cangkir teh untuk mereka.

“Budhe tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Drastha semalam,” kata Sekar. “Bagaimana perasaanmu setelah sang Pangeran Mahkota tidak mempercayaimu lagi?”

Nariah yang tadinya ingin mengambil tehnya terdiam. Ia tiba-tiba teringat dengan pembicaraannya semalam, saat Derish menuduhnya memasukkan kandungan gluten ke makanan Tatjana.

“Kulo tidak mengerti kata-kata Budhe,” jawab Nariah dan akhirnya meminum teh yang ada di hadapannya lalu kembali meletakkan cangkirnya.

Sekar tersenyum.”Bahkan Budhe bisa melihat sorot kekesalan dari mata teduhmu, Nduk.”

“…”

“Budhe menyaksikan sendiri bagaimana kamu dan pangeran-pangeran lainnya tumbuh bersama. Kamu adalah satu-satunya putri di kerajaan ini dan semua pangeran selalu menjagamu. Budhe tahu kalau sekarang kamu sedang sangat kesal ketika Drastha Raden Mas Tarendra, sepupumu, mulai kehilangan kepercayaannya kepadamu karena wanita yang tiba-tiba menjadi tamu istana.”

Lalu Nariah teringat bagaimana semalam Derish terlihat sangat mengkhawatirkan keadaan Tatjana, bagaimana Derish menuduhnya. Padahal, wanita itu tidak memiliki sopan santun sama sekali dan tidak layak untuk bicara dengan sang Raja.

Sekar kembali menambahkan, “Budhe juga bisa merasakan kekhawatiranmu. Kamu adalah satu-satunya putri dari seorang Raja, tapi kamu tidak bisa menjadi penerus Yang Mulia Raja karena kamu adalah seorang perempuan. Yang terbaik yang bisa dilakukan oleh sang Raja kepadamu hanyalah mencarikan calon suami terbaik untukmu. Lalu, setelah itu, kamu akan segera pergi dari kerajaanmu sendiri.”

Nariah sama sekali tidak mengerti dengan kata-kata Sekar. Ia tidak tahu mengapa Budhe-nya ini tiba-tiba mengatakan hal seperti itu kepadanya. Ia tahu kalau dirinya pasti akan dinikahkan dengan seseorang yang sangat baik dan ia sudah menerimanya, menerima takdirnya sebagai seorang putri raja yang tidak bisa memilih cintanya sendiri.

“Budhe, dalem sudah sangat mengerti dengan peraturan kerajaan dan semua yang terjadi berdasarkan peraturan kerajaan.”

“Tapi Budhe tahu kalau kamu memiliki sedikit kekhawatiran dalam dirimu. Budhe sudah mengatakan kalau Budhe melihat perkembanganmu dan kamu adalah Putri yang sangat pintar dalam menjalankan tugas istana.”

Nariah kembali meminum tehnya lalu menjawab, “Apa yang sebenarnya Budhe ingin katakan? Karena sampai sekarang, kulo belum menangkap maksud apapun dari perkataan Budhe.”

“Diajeng, apa kamu marah ketika Drastha meletakkan sedikit kecurigaan kepadamu?”

“…”

“Apakah kamu benar-benar rela jika kamu harus pergi meninggalkan kerajaanmu sendiri ketika sudah menikah? Padahal, kamu bisa hidup di sini dengan nyaman. Kerajaan ini seribu kali lebih baik dari tempat manapun yang akan menjadi tempat tinggalmu kelak.”

“…”

“Bagaimana kalau Budhe membantumu untuk tetap tinggal di istana ini dan menjadi Ratu selanjutnya?”

Kening Nariah berkerut. “Maksud Budhe?”

Sekar memasukkan satu buah gula batu ke dalam tehnya dan mengaduknya dengan perlahan. “Bagaimana kalau Budhe membantumu untuk tetap tinggal di sini, menjadi Ratu dengan menikahkanmu dan Drastha Raden Mas Tarendra?”

“Budhe,” kata Narian yang hampir menjatuhkan cangkir tehnya sendiri. “Kulo bahkan ndak bisa memimpikan hal itu. Kulo akan menganggap pembicaraan ini tidak pernah terjadi dan tidak akan mengingat semua kata-kata Budhe tadi.”

“Nariah,” panggil Sekar. “Budhe tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Kamu bisa memikirkannya. Semalam kamu sudah melihat bagaimana satu orang yang sangat dekat denganmu mulai mencurigaimu. Kamu bisa mempertimbangkan semua itu.”

Mendengar kalimat itu, Nariah menjadi berpikir akan sesuatu. “Apa Budhe yang memasukkan zat gluten itu ke makanan Ajeng Tatjana?”

Sekar tersenyum karena menyadari betapa pintar keponakannya ini. Ia menjadi yakin dengan pilihannya untuk mengajak Nariah minum teh dan membicarakan semua ini. “Yang terpenting sekarang bukanlah siapa yang memasukkan zat itu ke dalam makanan Ajeng Tatjana. Tapi, kenyataan bahwa Drastha mencurigaimu.”

“…”

φ

The Perfect BouquetWhere stories live. Discover now