Bab 21

1.1K 198 11
                                    

Gusti Raden Ajeng Nariah sudah membantu sang Ratu dalam mengurus istana sejak usianya menginjak empat belas tahun. Sebagai satu-satunya putri yang harus mengurus istana, ia harus belajar dan memahami banyak hal. Sejak usianya menginjak enam belas tahun, setiap pulang dari sekolahnya, ibunya selalu mengajarkannya cara mengurus dapur istana.

Seperti sekarang, ia sedang memperhatikan semua dayang yang sedang mempersiapkan makan malam. Dapur terbagi menjadi tiga bagian, satu dikhususkan untuk memasak makanan Raja, satu untuk memasak makanan keluarga kerajaan, dan satu untuk memasak makanan para tamu.

Ia selalu lebih memperhatikan masakan untuk sang Raja karena kondisi Raja yang mulai menurun.

“Dayang Wahyuni,” panggilnya kepada salah satu dayang yang baru memasuki kawasan dapur. “Ini untuk Ajeng Tatjana.”

Wahyuni mengangguk dan membawa makanan yang diperuntukkan kepada Tatjana. Jarak dapur istana dengan Payon Omah Dhami cukup jauh, hingga mengharuskan Wahyuni menaiki kereta kuda.

Setelah sampai di Payon Omah Dhami, ia segera mempersiapkan makan malam untuk Tatjana.

“Ajeng, mari makan dulu,” katanya kepada Tatjana yang terlihat baru saja selesai mandi. Tatjana menoleh dan tersenyum. Ia melangkah ke arah meja makan dan melihat sup rebus, seperti makanan yang ia makan siang tadi.

“Besok Dayang Dapur akan membeli bahan yang biasa Ajeng makan. Untuk malam ini, Ajeng bisa makan ini dulu,” kata Wahyuni.

“Mbak, pasti Der−maksud saya−Raden Mas yang nyuruh untuk memasakkan sup untuk saya kan?” tanya Tatjana.

Wahyuni mengangguk. “Drastha Raden Mas Tarendra mengatakan kalau Ajeng ndak boleh makan gluten, jadi beliau hanya menyarankan sup rebus sampai Dayang Dapur membeli makanan yang tepat untuk Ajeng Tatjana.”

“Sudah ketebak,” guman Tatjana lalu ia duduk di kursinya. “Mbak Wahyuni sudah makan?”

Wahyuni kembali mengangguk.

“Kok saya gak pernah melihat Mbak Wahyuni makan?” tanyanya.

“Dayang memiliki waktu sendiri untuk makan, Ajeng,” jawab Wahyuni.

Sekali lagi Tatjana mencoba untuk memasukkan informasi itu ke dalam otaknya. Ia harus mengingat beberapa hal, setidaknya ia tidak boleh benar-benar tidak tahu tentang peraturan istana ini. “Setelah makan, temenin saya ke tepi sungai ya, Mbak? Saya mau melihat bintang.”

Sudah dua hari ia berada di sini. Namun, ia belum melihat bintang karena malam kemarin ia tertidur setelah dirinya mandi. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia tertidur, mungkin ia terlalu lelah karena menelusuri hamparan kebun teh  bersama Derish kemarin.

“Tepi sungai adalah tempat yang sangat bagus untuk melihat bintang,” jawab Wahyuni, menandakan ia setuju untuk menemani Tatjana. “Dari tepi sungai yang tenang, kita bisa melihat bintang di langit dan di pantulan air sungai juga.”

Tatjana tersenyum dan mengangguk setuju. Ia tidak sabar lagi untuk melihat bintang-bintang. Maka dari itu, ia harus cepat menghabiskan makanannya.

φ

Setelah selesai makan, Tatjana berserta Wahyuni berjalan ke sungai yang terletak di tengah perkebunan teh. Sejak keluar dari Payon Omah hingga sekarang mereka sedang berada di perjalanan, Tatjana menahan dirinya agar tidak menatap langit karena ia ingin melihat bintang jika sudah berada di sungai. Pasti akan sangat memukau jika ia melihat untuk pertama kalinya di sungai.

“Bulan bersinar terang malam ini,” kata Wahyuni.

Tatjana tahu itu karena walaupun ia tidak melihat bulannya, namun, ia dapat merasakan cahaya bulan menyentuh pucuk-pucuk tanaman teh. “Kenapa Raden Mas yang menjadi pangeran mahkota? Bukannya Yang Mulia Raja punya seorang putri?”

The Perfect BouquetDonde viven las historias. Descúbrelo ahora