18. Ujian/Overthinking

522 78 89
                                    

Happy reading!

--JEKA--

Minggu pagi Jeka sudah nampak segar dengan balutan jeans hitam serta hoodie abu-abu. Ini sudah satu bulan semenjak pertemuannya dengan Erick yang memalukan. Tujuan pertama setelah keluar dari kamar ialah dapur. Cowok itu mengambil setangkup roti lalu mengolesinya dengan selai strawberry.

Keadaan rumahnya masih sepi. Papa mungkin sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja, sebab tadi malam ia berkata akan ada pekerjaan mendadak ke luar kota. Sedangkan Juna, menurut Jeka, cowok cerdas itu pasti akan tidur kembali selepas sholat subuh. Kegiatan itu sudah seperti jadwal tak tertulis untuk Juna. Jeka sudah menghapalnya.

Selesai menghabiskan rotinya. Jeka membuat segelas susu rasa vanilla. Sebenarnya susu vanilla itu milik Juna, tetapi karena susu pisang miliknya sudah habis, maka ia meminta susu milik abangnya itu. Tenang saja, Jeka sudah ijin pemiliknya.

"Pulang nanti beli susu sama kinderjoy ah." Gumamnya dengan senyum kecil.

Pukul delapan pagi, Jeka menghentikan motornya di depan toko bunga. Lima belas menit kemudian ia keluar dengan bunga mawar putih di genggamannya. Sepertinya mencium bunga dalam genggaman sudah menjadi reflek manusia, contohnya saja Jeka.

Jeka tersenyum kecil setelah menghirup aromanya. Gerakan kakinya semakin dipercepat ke arah motornya. Bunga tersebut ia taruh di dalam totebag yang ia bawa.

"Assalamualaikum, Mama." Sapa Jeka. Tangannya meletakkan bunga mawar putih di atas gundukan tanah di depannya. Telapak kanannya ia gunakan untuk mengusap lembut batu nisan bertuliskan nama Alina Rastanti tersebut.

"Ma, aku besok sama bang Juna mau ujian. Minta doanya ya semoga ujian kami lancar dan hasilnya sesuai harapan." Sudah menjadi kebiasan setiap sehari sebelum ujian, Jeka akan mengunjungi makam Mamanya untuk meminta restu.

Jeka tersenyum. "Aku juga dah baikan sama Papa loh, Ma."

Tak berapa lama senyum Jeka memudar. "Aku minta maaf, Ma. Karena aku baru aja mukulin anak orang sampe dia koma."

"Aku ada alasannya kok, Ma. Tapi.. aku beneran nggak sengaja kalo dia sampe koma."

"Maafin aku, Ma. Mama pasti kecewa sama aku." Jeka menundukan kepalanya. Cowok itu jadi teringat ucapan Ayah Evan.

"Sepertinya anak anda tahu titik fatal yang tidak boleh dilukai."

Jeka berpikir, apa itu tidak terdengar seperti kalimat sarkas?

Orang waras manapun pasti tahu, jika kepala adalah anggota tubuh yang harus dilindungi. Anggota tubuh yang rentan terluka.

Lalu, kenapa Ayah Evan mengucap seperti itu? Apa kalimat itu ia ucapkan untuk mempermalukan Jeka di depan Papanya?

Ah, memikirkannya membuat Jeka menjadi overthinking.

--JEKA--

"Lo dapet ruang berapa, Tet?"

"Sembilan A, kelas dua belas ipa satu. Males banget gue, ipa satu kan isinya nak ambis semua." Theo menggerutu sebal.

JEKA✓Where stories live. Discover now